Prestasi Ok Ngaji Yes

 Prestasi Ok Ngaji Yes

CIVILITA.COM – Bagi sebagian anak muda melibatkan diri dalam pengajian atau kelompok kajian, kalau bukan aktivitas mengisi waktu luang, sebagiannya lagi menganggap tidak produktif. Lebih baik bergabung dalam kelompok yang jelas-jelas ada manfaatnya untuk masa depan. Seperti klub fotografi misalnya, kalau ahli dan mahir kedepannya bisa jadi tukang foto profesional. Atau mungkin ada yang memilih bergabung di kelompok sains tertentu, dengan maksud bisa diandalkan jika nanti berprestasi.

Kurang lebih seperti itu gambarannya bahwa seakan kalau ikut kajian itu tidak prestatif. Bahkan karena sakit takutnya kalau ikut ngaji nanti malah prestasinya jeblok. Mirisnya ketakutan itu sedikit terbukti dengan adanya fakta empiris, sebagian kecil mahasiswa yang tertunda kelulusannya setelah ditelusur ternyata dia ikut kajian. Walaupun memang fakta tersebut tidak bisa dijadikan dalil, tapi oleh sebagian orang tua timbul kekhawatiran fakta itu terjadi pada anak-anaknya.

Kondisi ini diperparah dengan gencarnya audisi-audisi yang akhirnya menghasilkan bintang-bintang baru yang lebih terkenal dan mendapat tempat di hati masyarakat. Karena menurut mereka itulah prestasi, dan yang lebih riil berpengaruh pada masa depan, dibandingkan ikut kelompok kajian yang belum atau bahkan tidak jelas nilai materinya yang didapat apa. Support dari orang tua pun mengalir deras jika itu terkait dengan nilai materi, baik berupa uang, ketenaran, dan sejenisnya.

Nah, sejatinya tidak boleh ada dikotomi atau pemisahan antara ikut kajian dengan prestasi. Bagi yang sudah ikut kajian, bukan dilarang untuk berprestasi. Begitupun yang sudah berprestasi juga masih harus ikut kajian. Kajian yang dimaksud disini adalah memahami ilmu-ilmu agama lebih mendalam, sedangkan bagi yang berprestasi juga dipersilahkan untuk mengejar ilmu-ilmu dunia. Menuntut ilmu adalah hal yang wajib bagi kita, ”Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim”. (HR. Ibnu Majah. Dinilai shahih oleh Syaikh Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Ibnu Majah no. 224).

Adapun yang dimaksud dengan (kata) ilmu di sini adalah ilmu syar’i. Yaitu ilmu yang akan menjadikan seorang mukallaf mengetahui kewajibannya berupa masalah-masalah ibadah dan muamalah, juga ilmu tentang Allah dan sifat-sifatNya, hak apa saja yang harus dia tunaikan dalam beribadah kepada-Nya, dan mensucikan-Nya dari berbagai kekurangan”. (Fathul Baari, 1/92).

Ilmu itu adalah cahaya, dianya bisa menerangi perjalanan ketika kita beramal, dengan memiliki ilmu kita akan tahu mana yang harus dikerjakan mana yang harus ditinggalkan, mana yang bisa berpahala dan boleh dilakukan dengan yang mengandung siksa jika kita melakukannya. Jadi bagi seorang muslim, ilmu itu wajib dan harus dimiliki sebagaimana disampaikan Ibn Hajar dalam kitabnya Fathul Baari tadi.

Sehingga mempertentangkan antara prestasi dan ngaji bukanlah saatnya lagi. Karena keduanya harus berjalan beriringan dan harus seimbang. Prestasi perlu untuk mempermudah hidup kita di dunia, sementara ngaji darisitu kita mendapat panduan ketika hidup di dunia untuk kehidupan akhirat kelak. Jadi, bagi yang merasa sudah punya prestasi seharusnya merasa tidak cukup, karena buat apa berpretasi tapi tidak tahu ilmu-ilmu syar’i? Karena bisa jadi nanti prestasinya ada yang melanggar aturan syar’i.

Pun bagi yang sudah ngaji, bukan tidak boleh berprestasi, baik berprestasi yang ada kaitannya dengan agama ataupun prestasi yang sifatnya dunia. Sehingga ketika menjadi arsitek misalnya, menjadi arsitek yang paham ilmu syar’i. Ketika menjadi pebisnis maka menjadi pebisnis yang paham akad-akad yang syar’i. [LR]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *