Dear Ukhti, Ini Nasehat Saudarimu Tentang Hijabmu

 Dear Ukhti, Ini Nasehat Saudarimu Tentang Hijabmu

CIVILITA.COM – Dear ukhti sholihat, kami sampaikan pesan ini bukan karena kami merasa paling benar, atau pun merasa sok suci. Pesan ini kami utarakan karena kami sayang kepada saudari-saudari kami sesama muslimah yang harusnya memahami hakekat disyariatkannya busana muslimah.

Bukan pula karena merasa paling paham, tapi mari kita lihat bersama-sama pakaian kita (jilbab dan kerudung) sudahkah membawa kita kepada ketaatan. Karena disadari atau tidak, kadangkala kita berada pada sikap mengambil ‘jalan tengah’, termasuk dalam berbusana ketika keluar rumah.

Bisa jadi kita mengambil jalan aman di antara dua pilihan, antara taat dengan syariat ataukah mengikuti trend dan selera pasar. Akibat sikap itu, lahirlah busana hijab yang disebut modern, mengakomodir nilai syar’i tapi tanpa harus melanggar pakem pergaulan di masyarakat.

Kalo sampai melanggar aturan tak tertulis di masyarakat, khawatir akan muncul seakan-akan tidak diterima di masyarakat. Ketakutan dikatakan sok suci, sok alim, sok fanatik menghantui jika harus berbusana syar’i, maka disitulah lahir penyesuaian dengan selera pasar tadi. Akhirnya, berbusana muslimah tidaklah cukup hanya syar’i saja tapi juga harus sesuai dengan ‘aturan tak tertulis’ di masyarakat. Jadi ada hukum diatas hukum Allah, adalah hukum bikinan manusia, yakni berupa ‘selera masyarakat’.

Kalo ada hukum Allah, tapi nggak sesuai selera masyarakat, maka dipikir-pikir dulu untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, bahkan mungkin tidak jadi dipakai. Tapi kalo hukum Allah itu ada manfaatnya dan seakan masyarakat tidak bakalan protes, maka pelaksanannya dipertimbangkan.

Itulah yang terjadi pada modifikasi jilbab syar’i, akhirnya atas pertimbangan modernitas dan selera masyarakat, melahirkan jilbab gaul, jilbab ketat, jilbobs, jilbab funky, jilbab punuk onta, dan berbagai varian jenis jilbab. Pertanyaanya, apakah berpakaian seperti itu salah? Kalau standarnya selera masyarakat, sudah jelas pasti tidak salah, karena namanya selera bisa dan boleh berubah-ubah, tergantung situasi dan kondisi. Tapi jika kita masih ingat bahwa karena kita tercipta untuk beribadah, sementara tidak ada ibadah tanpa ketaatan, maka seharusnya pertimbangan kita ketika berpakaian bukan yang lain, selain ketaatan.

Jika kita bicara dan berstandar kepada ketaatan syariat, maka pakaian muslimah ketika keluar rumah adalah bagian dari ibadah. Oleh karena bagian dari ibadah, tentu harus ada panduannya dan kita harus mengikuti panduan tersebut. Jika alasan kita berbusana muslimah karena Allah, tentu landasan kita tak berbeda, yakni Surat An-Nuur ayat 31 dan Surat Al Ahzab 59 dari sumber yang sama, yakni Al-Qur’an. Disitulah termaktub perintah untuk kaum muslimah berbusana menutup aurat ketika keluar rumah dengan Jilbab (abaya) dan Khimar (kerudung). Perintah tersebut adalah perintah menutup aurat bukan membungkus aurat.

Tapi sekali lagi karena mengakomidir selera masyarakat, busana muslimah yang seharusnya fungsinya menutup aurat menjadi membungkus aurat. Bagian dari tubuh yang tidak boleh diperlihatkan ketika di depan umum atau diluar rumah harusnya ditutup (bukan dibungkus) dengan jilbab dan khimar. Kalau sekedar menutup sebenarnya bisa dengan medium apapun asal tertutup, tapi ternyata cara menutup, medium penutup, dan kapan atau dalam kondisi seperti apa ditutup, juga sudah ditetapkan oleh syariat.

Dengan menarik pemahaman dari QS Al Ahzab 59 dan An Nuur 31 tadi, telah ditetapkan bahwa pakaian jilbab sudah memiliki ciri khas, sebagaimana penjelasan ahli bahasa arab tentang makna Jilbab. Dalam Al Qur`an, terdapat dalam bentuk pluralnya, yaitu “jalaabiib”. Ayat Al Qur`an yang menyebut kata “jalaabiib” adalah QS Al Ahzab 59. Menafsirkan ayat ini, Imam Al Qurthubi berkata,”Kata jalaabiib adalah bentuk jamak dari jilbab, yaitu baju yang lebih besar ukurannya daripada kerudung (akbar min al khimar). Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud berpendapat bahwa jilbab artinya adalah ar ridaa` (pakaian sejenis jubah/gamis). Ada yang berpendapat jilbab adalah al qinaa’ (kudung kepala wanita atau cadar). Pendapat yang sahih, jilbab itu adalah baju yang menutupi seluruh tubuh (al tsaub alladzy yasturu jamii’ al badan).” (Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, 14/107).

Medium alias kain penutup aurat pun disyaratkan tidak boleh tipis atau transparan dan tidak membentuk lekuk tubuh. Hal ini sebagaimana terdapat dalam hadits dari Usamah bin Zaid ketika ia diberikan baju Qubthiyah yang tebal oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia memberikan baju tersebut kepada istrinya. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahuinya, beliau bersabda, “Perintahkanlah ia agar mengenakan baju dalam di balik Qubthiyah itu, karena saya khawatir baju itu masih bisa menggambarkan bentuk tubuh.” (HR. Ad Dhiya’ Al Maqdisi, Ahmad dan Baihaqi dengan sanad hasan)

Dalam keadaan dan kondisi seperti apa pakaian yang menutupi aurat tersebut dipakai, juga sudah ditetapkan. “Dan janganlah memperlihatkan perhiasan mereka kecuali kepada suami-suami mereka, atau bapa-bapa mereka, atau bapa-bapa mentua mereka, atau anak-anak lelaki mereka, atau anak-anak lelaki suami mereka (anak tiri), atau saudara-saudara lelaki mereka, atau anak-anak saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita (rakan sejawat atau yang berkhidmat) dengan mereka, atau hamba sahaya mereka, atau orang-orang lelaki yang menjadi pengikut mereka yang tidak mempunyai syahwat (nafsu) kepada perempuan, atau kanak-kanak yang belum timbul berahinya apabila melihat aurat perempuan.” (QS.An Nur: 31)

Semua persyaratan pakaian muslimah seperti yang telah ditetapkan oleh syariat, sudah cukup tidak perlu mencari penafsiran lain, apalagi mempraktikan yang tidak sesuai ketetapan syariat dengan alasan takut tidak sesuai selera masyarakat. Jika karena itu alasannya, wajarlah jika mengganti pakaian jilbab hanya cukup dengan kaos, apalagi ada yang kemudian kaosnya ketat press body, ada yang kaosnya lengan pendek, dan sebagainya. Belum lagi dengan kerudungnya yang hanya sekedar menutup kepala sebagian saja, ada yang jelas memperlihatkan leher, ada yang sengaja dililitkan leher dan sebagainya. Itu semua bagian dari praktik menjalankan syariat berjilbab dan berkerudung, yang menyesuaikan selera masyarakat. Maksud hati menjalankan syariat, tapi pada praktiknya malah menjalankan selera masyarakat.

Dear ukhti, sebagai penutup mari coba untuk membuka tabir hati, entah itu berupa diri yang sulit dinasehati ataukah barangkali ada kesombongan diri. Bukan bermaksud membaikkan diri sendiri atau merasa sok suci, tapi mari kita lihat lagi busana muslimah yang kita kenakan setiap hari, sudahkah itu sesuai seruan Illahi, sebagai pencipta sekaligus pengatur jagad raya ini. Untuk berbusana syar’i sebenarnya tak perlu pertimbangan apa-apa lagi, hanya perlu membisakan dan membiasakan diri untuk rela dan mau diatur oleh aturan Allahurabbi.[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *