Surat Terbuka Untuk Calon Separoh Hatiku

 Surat Terbuka Untuk Calon Separoh Hatiku

Wahai calon separoh hatiku….

Aku tentu bukan manusia sempurna yang bila kelak engkau menemani sisa usiaku, di saat itu kau menyaksikan ada kekuranganku yang merupakan ketidaksukaanmu, maka aku hanya berharap semoga engkau tidak menutup mata atas apa yang baik dariku. Sindirlah diri kita, dengan firman Allah SWT:

“Dan pergaulilah mereka (isterimu) dengan baik. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS: An Nisa’ 19).

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang kita cintai pun berpesan,

“Sempurnanya iman seseorang mukmin adalah mereka yang baik akhlaknya, dan yang terbaik (pergaulannya) dengan istri-istri mereka.” Jika engkau melihat kekurangan pada diriku, ingatlah kembali pesan beliau, “Jangan membenci seorang mukmin (laki-laki) pada mukminat (perempuan) jika ia tidak suka suatu kelakuannya pasti ada juga kelakuan lainnya yang ia sukai.” (HR. Muslim)

Bila kita sadari dengan selalu menghitung-menghitung kekurangan pasangan kita, apakah kita pernah puas dengan hitungan kita? Apakah hingga kini kesempurnaan itu kita dapatkan? Nampaknya, kita harus segera menyadari bahwa kesempurnaan itu hanya milik Allah Swt. Dan kita mahluk-Nya, tak akan pernah genap menghitung kesempurnaan kita.

Duhai calon separoh hatiku,

Hati ini bukan tersusun atas batu, melainkan urat rasa yang bisa tergores dengan sayatan lisan dan atau perbuatan. Untuk itu tegur aku dengan lembutmu bukan dengan diam dan bencimu. Penuhi hakku sebagai pendamping hidupmu, aku pun sekuat mampuku akan melunasi semua kewajibanku. Bukankah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam telah mengajarkan kepada dirimu, saat Muawiah bin Ubaidah bertanya kepada beliau tentang tanggungjawab suami terhadap istri, beliaupun menjawab, “Dia memberinya makan ketika ia makan, dan memberinya pakaian ketika dia berpakaian.”

Wahai calon separoh hatiku,

Aku takkan meminta apa yang kau tak mampu untuk menunaikannya. Aku hanya ingin kita berusaha sekuat mampu kita untuk menjemput keindahan yang telah dijanjikan oleh Allah Swt berupa Jannah. Dengan kita merajutnya melalui kasih indah persahabatan diantara kita, bukan layaknya majikan dengan bawahan, bukan pula antara budak dan tuan.

Semaikan tiap hari dengan sapaan penuh senyuman, candaan penuh keriangan, dan teguran penuh sayang. Bukankah junjungan kita Rasulullah Saw, suka bersenda gurau dengan para istrinya, sebagai perwujudan firman Allah “Dan bergaullah dengan mereka (para istri) dengan cara yang baik.” (QS. An-Nisa: 19).

Termasuk akhlak Nabi, beliau sangat baik hubungannya dengan para istrinya. Wajahnya senantiasa berseri-seri, suka bersenda gurau dan bercumbu rayu dengan istri, bersikap lembut dan melapangkan mereka dalam hal nafkah serta tertawa bersama istri-istrinya. Sampai-sampai, beliau pernah mengajak ‘Aisyah Ummul Mukminin berlomba, untuk menunjukkan cinta dan kasih sayang beliau terhadapnya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/477)

Duhai calon separoh hatiku,

Aku tidak menginginkan seluruh waktumu. Aku hanya ingin dari bagian waktumu, ajariku aku jadi muridmu dengan ilmu yang telah Allah anugerahkan kepadamu. Namun, jikalau engkau tak mampu, ijinkan aku menuntut ilmu di sisa waktu dan tanggungjawabku. Karena dari akulah kelak lahir putra-putrimu, maka aku harus jadi madrasah pertama dan utama dari putra-putrimu.

Maka dalam hadits Muttafaq alaihi dari Abu Hurairah Nabi saw mewasiatkan kepada seorang laki-laki agar berbuat baik kepada ibunya yang beliau tegaskan sebanyak tiga kali, baru pada kali keempat kepada bapaknya. “Ya Rasulullah, siapa orang yang paling berhak mendapat kebaikanku’’ Rasulullah saw menjawab, “Ibumu.’’ Dia bertanya, ‘’Kemudian siapa’’ Rasulullah saw menjawab, ‘’Ibumu.’’ Dia bertanya,’’Kemudian siapa’’ Rasulullah saw menjawab, ‘’Ibumu.’’ Dia bertanya, ‘’Kemudian siapa’’“ Rasulullah saw menjawab, ‘’Kemudian bapakmu.’’

Wahai calon separoh hatiku,

Bukan harapan tak berlangit yang kuinginkan, hanya sekedar mengharapkan seorang pendamping di sisa usiaku untuk bersama mengarungi ketaatan.

Kau memang bukan Yusuf dengan segala ketampanannya, bukan pula Ibrahim dengan segala ketabahannya, tak jua Rasulullah dengan segala kemulyaannya. Tapi dari dirimu, aku hanya ingin berharap ketakwaanmu, bisa membahterai hingga menuju surga-Nya.

Duhai calon separoh hatiku,

Dalam panjatan doa munajatku, diatas tangis harapku, aku selalu memohon dihadirkan yang diridhai-Nya dihadiahkan untukku.

Di setiap gelaran sajadah tahajadku, aku selalu meminta yang terbaik dari-Nya, dihadiahkan untukku.

Dan jika kaulah hadiah terindah itu, maka semoga kita bisa melaluinya dengan tanpa melanggar syariat-Nya, agar merengguh berkah-Nya, meraih Surga-Nya, hingga saatnya halal akan tiba. [lukyrouf]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *