Galau Adalah Produk Sekularisme
Orang merasa bingung (confuse) adalah sebuah kewajaran, suatu hal yang manusiawi. Sama seperti rasa takut-berani, bahagia-sedih, dll. Akan tetapi menjadi tidak manusiawi, ketika kebingungan itu menjadi semacam penyakit, bahkan jadi semacam karakter yang melekat pada seseorang.
Orang yang takut pada binatang buas, bisa dibilang itu adalah sebuah kewajaran. Akan tetapi, ketika dia berjalan sendiri di tengah hutan, misalnya ada suara atau bayangan yang dianggapnya sebagai binatang buas, trus dia lari terbirit-birit, maka reaksi yang seperti itu disebut sebagai berlebihan alias tidak wajar.
Nah, demikian pula dengan orang yang bingung, akan menjadi tidak wajar, ketika menghadapi suatu masalah, dia selalu dilema atau bingung. Itu menunjukkan bahwa memang orang yang bingung tersebut tidak punya standar yang jelas dalam menghadapi persoalan.
Klop, seperti yang dialami kebanyakan anak muda saat ini. Coba perhatikan, untuk urusan ujian sekolah, daripada pusing-pusing, anak-anak muda kita lebih memilih untuk mencontek. Untuk urusan karir, pekerjaan, mereka juga maunya yang cepat menghasilkan uang, kalo perlu yang langsung menggunung duitnya, maka dipilihlah ikut audisi jadi selebritis.
Untuk urusan gaul, kalau temannya ramai bicara pacaran, maka tanpa pikir panjang, dia pun akan berjibaku mencari pacar, tidak peduli apapun diterjang, termasuk berurusan dengan norma Islam pun diabaikan. Dan contoh yang lainnya masih banyak bertebaran, dari contoh tersebut dengan pasti menunjukkan bahwa anak-anak muda kita adalah generasi galauers.
Ironisnya, yang mengalami kondisi galau, bukan hanya kaum muda, tapi sudah menjangkit ke seluruh lini masyarakat di negeri ini. Conto riilnya, ketika media memberitakan tentang terorisme, maka dengan mudahnya masyarakat melakukan generalisasi, bahwa setiap yang berjenggot, celana cingkrang, jubah, cadar adalah ciri-ciri teroris. Kebingungan masyarakat dalam memberi standar salah-benar, baik-buruk itu menunjukkan dengan pasti kalau masyarakat sedang galau.
Kondisi atau fakta seperti diatas, hanya akan terjadi ketika masyarakat tidak menjadikan Islam sebagai standar hidup. Atau dengan kata lain, memisahkan pembahasan problem kehidupan dengan Islam, alias sekularisme. Islam hanya dibatasi di pojok-pojok mushola, itupun diambil yang ada kaitannya dengan ibadah ritual saja. Diambil yang kira-kira menyenangkan, dipakai ketika sedang suntuk dan yang kira-kira bisa menenangkan hati.
Padahal Islam itu sejatinya adalah way of life (jalan hidup), dia adalah dien yang mengatur segala urusan, mulai dari bangun tidur sampai urusan mendengkur, mulai dari urusan sepele sampai urusan yang bertele-tele, mulai dari urusan bangun rumah sampai bangun negara.
Galau itu semacam penyakit hati dan pikiran, tentu saja kalau disepelekan akan berakibat buruk. Akibat lanjutan bagi orang yang sedang galau (bingung, confuse) adalah futur (down), yang selanjutnya bisa kehilangan arah dan tujuan hidup.
Kebingungan seseorang ketika menghadapi suatu problem, hal itu lebih karena seseorang tersebut tidak memiliki prinsip (idealisme) hidup. Sedangkan idealisme hidup itu lahir dari cara pandang (mindset) dia terhadap kehidupan. Seorang remaja yang punya prinsip hidup dagadu: muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk surga, maka bisa dipastikan perilaku dia dalam kehidupan sesuai dengan apa yang dia prinsipkan itu.
Idealisme itu ibarat darah yang senantiasa mengalir dalam tubuh kita. Bicara idealisme, adalah bicara tentang hidup dan mati, tentang harga diri, tentang sikap, dan tentang tujuan dan target kita dalam hidup ini. Bayangin aja, kalo orang sama sekali nggak punya idealisme, hidupnya nggak karuan. Ibarat orang bepergian tapi nggak tahu harus pergi ke mana. Idealisme itu ibarat “nyawa” dalam kehidupan kita. Bisa kita bayangkan sendiri, bahwa ketika kita nggak punya tujuan yang hendak dicapai, rasanya garing banget hidup ini. Beda dengan orang yang punya idealisme. Ia akan termotivasi untuk mewujudkan impiannya. Dan itu berarti sebuah perjuangan.Rintangan seberat apapun akan dianggap sebagai sebuah tantangan yang harus ditaklukkan.
Kalau kita tidak punya idealisme, tentu buat apa sekolah tinggi-tinggi, setelah lulus mau ngapain, mau berkeluarga apa tidak, anak kita nanti diarahkan kemana. Bayangkan, pertanyaan seabreg ini mau dijawab gimana kalo tidak punya idealisme. Dengan memiliki idealisme, tujuan hidup kita jadi terarah, memiliki target yang jelas, dan pasti punya strategi dalam mewujudkan segala kehendak kita. Imam asy-Syafii mengatakan bahwa: “Sesungguhnya kehidupan pemuda itu, demi Allah hanya dengan ilmu dan takwa (memiliki ilmu dan bertakwa), karena apabila yang dua hal itu tidak ada, tidak dianggap hadir (dalam kehidupan) . Sabda Rasulullah saw: “Apabila Allah menginginkan kebaikan bagi seseorang maka dia diberi pendalaman dalam ilmu agama. Sesungguhnya memperoleh ilmu hanya dengan belajar.” (HR. Bukhari). [lukyrouf]