Jangan Main-Main, Hukuman bagi Penghina Nabi Saw Itu Berat
Menghina Nabi Muhammad Saw, bukan perkara ringan. Menurut syariat Islam, hukuman kepada siapapun yang menistakan Nabi Muhammad Saw adalah mati, baik pelakunya seorang Muslim maupun kafir (kafir dzimmi maupun harbi).
Rasulullah Saw sendiri telah memerintahkan untuk mengeksekusi Ka’ab bin Al-Asyraf yang telah menyakiti beliau.
Disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, Ka’ab bin Al-Asyraf menghina Nabi Muhammad Saw. Lalu Nabi Saw bersabda: “Siapa yang mau membunuh Ka’ab bin Al-Asyraf? Sesungguhnya dia telah menyakiti Allah dan Rasul-Nya.” Muhammad bin Maslamah berdiri dan berkata: “Wahai Rasulullah, apakah engkau suka jika aku membunuhnya?” Nabi Saw menjawab: “Ya.” Singkat cerita, Ka’ab bin Al Asyraf pun dibunuh oleh Muhammad bin Maslamah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam karyanya yang tekenal “As-Sharim al-Maslul ala Syatimir Rasul,” mengutip pendapat Imam Ahmad ra yang mengatakan, “Setiap orang yang mencela Nabi Saw atau menjelek-jelekkannya, entah dia Muslim atau kafir, dia harus dihukum mati. Dia dibunuh dan tidak perlu diminta taubat!”.
Di antara sekian banyak dalil yang dijadikan dalil oleh Imam Ibnu Taimiyah adalah kisah Abu Rafi’ al Yahudi. Abu Rafi’ termasuk salah seorang yang diceritakan telah dibunuh karena menyakiti Nabi saw. Dan kisah orang ini sudah sangat populer di kalangan para ulama. Imam Bukhari menulis kisah tersebut dalam kitab Shahih-nya:
“Dari Barra’ bin ‘Azib yang berkata, “Rasulullah saw telah mengutus beberapa pemuda dari kalangan Anshar kepada Abu Rafi’ al Yahudi. Beliau menyerahkan kepemimpinan atas mereka kepada Abdullah bin ‘Atik. Ketika itu, Abu Rafi’ telah menyakiti Nabi saw dan membantu hal itu, dan dia berada dalam suatu benteng di daerah Hijaz. Ketika para pemuda itu sudah dekat, sementara matahari telah terbenam dan orang-orang pun telah pulang dari bepergiannya, Abdullah pun berkata kepada kawan-kawannya, “Duduklah kalian di tempat kalian, karena aku akan pergi dan berlaku sopan kepada penjaga pintu agar aku bisa masuk.” Setelah itu, dia pun berjalan dan mendekati pintu. Kemudian, dia bertutup dengan pakaiannya, seakan-akan dia sedang memenuhi hajatnya. Orang-orang pun masuk pintu, lalu penjaga pintu itu pun berbisik kepadanya, “Wahai Abdullah, jika kamu ingin masuk, maka masuklah, karena aku ingin menutup pintu.” Abdullah bertutur, “Maka aku segera masuk lalu bersembunyi/menyelinap. Ketika orang-orang telah masuk, maka penjaga pintu itu pun menutup pintunya dan menggantungkan kunci-kuncinya pada sebuah pasak/gantungan. Abdullah bertutur, “Lalu aku pun berdiri menghampiri kunci-kunci itu, lalu mengambilnya dan membuka pintu.
Malam itu, Abu Rafi’ sedang mengobrol/bercengkrama dengan orang yang bersamanya dan dia berada dalam ruangan atas. Ketika teman-teman cengkrama/ngobrolnya telah pergi, maka aku pun segera naik. Dan setiap kali aku membuka pintu, maka aku tutup kembali pintu itu agar tidak ada yang bisa masuk. Aku katakan: Suatu kaum jika telah aku nadzarkan, maka mereka tidak akan selamat dariku hingga aku bisa membunuhnya. Lalu aku pun sampai kepadanya. Ternyata dia berada dalam rumah/ ruangan gelap yang terletak di tengah-tengah keluarganya. Aku tidak bisa melihat di rumah/ruangan manakah dia berada. Aku pun bersuara, “Wahai Abu Rafi’” Dia pun menyahut, “Siapa ini?” Lalu aku segera turun mendatangi arah suara itu, dan langsung menebaskan pedang ke arahnya dengan sekali tebasan. Aku sangat takut dan tidak mempunyai seorang penolong pun. Seketika itu Abu Rafi’ pun menjerit. Lalu aku keluar dari rumah/ruangan itu dan berdiri tidak jauh darinya. Kemudian aku kembali kepadanya dan berkata, “Apakah teriakan ini, wahai Abu Rafi’?” Dia berkata, “Sungguh celaka, seorang lelaki di dalam rumah/ruangan telah menebaskan pedang kepadaku tadi.” Abdullah bertutur, “Lalu aku menebaskan pedang ke arahnya lagi dengan tebasan yang bisa membunuhnya.”
Namun, ternyata aku belum mampu membunuhnya. Kemudian aku menusukkan mata pedang ke arah perutnya hingga menembus punggungnya, sehingga aku pun tahu bahwa aku telah membunuhnya. Lalu, aku membuka pintu-pintu tersebut satu per satu hingga sampai pada tangga. Lalu aku langkahkan kakiku dan ternyata aku telah sampai di tanah/lantai dasar. Namun, aku terjatuh dalam malam yang diterangi oleh cahaya bulan itu hingga betisku retak/patah, dan aku pun membalutnya dengan sorban. Kemudian aku pergi untuk kemudian duduk di depan pintu. Aku katakan: Aku tidak akan keluar malam ini hingga aku mengetahui benar apakah aku telah membunuhnya atau belum? Ketika ayam jantan telah berkokok, seseorang yang meratapi kematian Abu Rafi’ berdiri di atas pagar dan berkata, “Seorang pedagang dari penduduk Hijaz meratapi Abu Rafi’.” Lalu aku pergi menghampiri kawan-kawanku dan aku katakan, “Suatu keberhasilan, sungguh Allah swt telah membunuh Abu Rafi’.” Lalu aku sampai ke hadapan Nabi saw dan menceritakan semuanya kepada beliau. Kemudian beliau berkata, “Rentangkan kakimu.” Lalu, aku pun merentangkan kakiku, dan Nabi saw pun mengusapnya, dan seolah-olah aku tidak pernah mengeluhkannya.” (HR. Imam al Bukhari di dalam Shahih-nya)
Dalil petunjuk dari kisah Abu Rafi’: Sungguh telah terlihat jelas dalam kisah ini, bahwa kaum Muslimin atas seizin Nabi saw telah secara sembunyi-sembunyi membunuhnya dikarenakan dia telah menyakiti dan memusuhi Nabi Saw, dan bahwa dia seperti Ibnu al Asyraf, hanya saja Ibnu al Asyraf adalah seorang kafir mu’ahid. Lalu, Abu Rafi’ menyakiti Nabi saw dan Rasul-Nya. Sehingga Nabi saw pun menyuruh kaum Muslimin untuk membunuhnya dan dia bukanlah seorang kafir mu’ahid.
Sehingga dalam kitabnya tersebut, Ibnu Taimiyah menyimpulkan, “Kesimpulannya, bahwasanya jika orang yang menghina itu muslim, maka dia dikafirkan dan dibunuh tanpa ada perbedaan pendapat, dan ini adalah madzhab keempat imam serta selain mereka. Adapun jika yang menghina adalah orang kafir, maka dia pun juga dibunuh!”.
Ibnu Hajar Al-Asqalani ra dalam kitab Fathul Bari mengungkapkan hal senada. “Ibnul Mundzir menukil adanya kesepakatan umat bahwa barangsiapa yang mencela Nabi Muhammad Saw terang-terangan, maka dia wajib dibunuh!”.
Alhasil, jangan main-main dengan kehormatan Rasulullah Saw. [SR]