Inilah Wanita-wanita yang Haram Dinikahi

 Inilah Wanita-wanita yang Haram Dinikahi

CIVILITA.COM – Menikah adalah ibadah seorang muslim. Sebab dengan menikah, seeorang akan terhindar dari perbuatan dosa yang diakibatkan oleh zina. Selain itu, menikah juga dapat melestarikan keturunan, hingga generasi muslim yang meng-Esakan Allah kian banyak terlahir di muka bumi.

Meski demikian, bagi laki-laki Muslim, tak semua wanita boleh dinikahi. Ada beberapa wanita yang justru menjadi haram hukumnya apabila dinikahi oleh laki-laki Muslim.

Syaikh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi dalam kitabnya “Al Halal wal Haram fil Islam” menuliskan, seorang Muslim haram menikah dengan salah seorang wanita yang tersebut di bawah ini:

1. Istri Bapak. Baik yang diceraikannya maupun karena ditinggal mati. Perkawinan semacam ini pada zaman jahiliyah diperbolehkan, kemudian dibatalkan oleh Islam, karena istri bapak berkedudukan sebagai ibunya setelah menikah dengan bapaknya.

Hikmah pengharaman ini ialah untuk memelihara kehormatan bapak. Larangan menikah dengan istri bapak untuk selamanya ini memutuskan keinginan sang anak terhadapnya dan sebaliknya. Dengan demikian jalinan antara mereka atas dasar penghormatan dan kewibawaan tetap terpelihara.

2. Ibu. Demikian pula nenek dan seterusnya ke atas, baik dari ayah maupun ibu.
3. Anak perempuan dan seterusnya ke bawah.
4. Saudara perempuan, baik sekandung, seayah, maupun seibu saja.
5. Saudara perempuan ayah, baik sekandung, seayah, maupun seibu saja.
6. Saudara perempuan ibu, baik sekandung, seayah, maupun seibu saja
7. Anak perempuan dari saudara laki-laki
8. Anak perempuan dari saudara perempuan

Wanita-wanita kerabat ini dalam Islam disebut dengan istilah “muhrim”, karena mereka diharamkan selamanya untuk dinikahi oleh seorang Muslim dan tidak halal pada saat kapanpun dan dalam kondisi bagaimanapun. Sebaliknya, lelaki itu juga sebagai mahram baginya.

Hikmah diharamkannya menikah dengan wanita-wanita kerabat itu sangat jelas, yakni:

1. Bahwa fitrah orang yang telah berperadaban tinggi tidak mau melepaskan syahwatnya kepada orang semacam ibunya, saudara perempuannya, atau anak perempuannya sendiri. Bahkan di antara binatang pun ada yang tidak mau berbuat demikian.

Perasaan seseorang terhadap saudara perempuan ibunya atau saudara perempuan ayahnya adalah seperti perasaannya terhadap ibunya sendiri. Sedangkan paman, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu kedudukannya seperti ayah.

2. Andaikata syariat tidak memotong keinginan untuk menikah dengan mereka itu, niscaya hubungan antara seorang laki-laki dengan mereka akan rusak, karena mereka basa bergaul akrab dan intim.

3. Antara seorang lelaki dengan wanita-wanita kerabat itu terdapat perasaan unik yang tercermin dalam bentuk penghormatan atau kasih sayang. Karena itu lebih utama kalau rasa cintanya diarahkan kepad wanita-wanita asing (ajnabi) melalui perkawinan sehingga terjalin hubungan baru sehingga jaringan cinta dan kasih sayang di antara manusia semakin luas.

4. Perasaan fitri penuh kasih sayang antara seorang lelaki dengan kerabat-kerabat wanitanya tersebut, harus senantiasa dijaga kehangatannya, supaya hubungan mereka menjadi kekal dan berlangsung terus menerus, dengan saling menjaga, saling mencintai, dan saling setia.

Jika diantara mereka yang memiliki perasaan seperi ini diperkenankan menikah, sedangkan pernikahan itu sendiri kadang-kadang mengalami pertentangan dan perselisihan, bahkan adakalanya mengakibatkan terjadinya pemutusan hubungan, sudah barang tentu hal ini akan menghilangkan rasa kasih sayang kekeluargaan dan menjadikan hubungan mereka terputus.

5. Keturunan yang dilahirkan dari wanita yang masih kerabat ini kadang-kadang tidak sempurna dan lemah. Apabila pada ruas seseorang terdapat kelemahan jasmani atau intelektual, maka hal itu akan dapat menular pada keturunannya.

6. Seorang wanita sangat membutuhkan orang yang dapat membelanya dan melindungi kemaslahatannya di samping suaminya, lebih-lebih kalau di antara dia dengan suaminya terjadi keretakan hubungan. Bagaimanakah jadinya jika orang yang semestinya melindunginya (yakni mahramnya) itu justru yang menjadi lawannya (suami yang bertengkar dengannya). [MSR]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *