Ikhlas Dalam Keterpaksaan

 Ikhlas Dalam Keterpaksaan

CIVILITA.COM – Salah satu syarat amal bisa tercatat sebagai amal shalih adalah ‘ikhlas’, disamping caranya harus ‘benar’. Tapi kita mungkin sering mendengar “shadaqah seribu yang penting ikhlas, daripada sejuta tidak ikhlas”. Sebenarnya ucapan itu tentang ‘kerelaan’ bukan tentang keikhlasan. Karena berbicara tentang ikhlas dimensinya hati dan ukhrawi. Andai ‘ikhlas’ dimaknai dengan ‘rela’ maka sampai kapan menunggu manusia rela ibadah?

Ikhlas dalam ibadah maksudnya adalah ‘niat ibadah hanya dan untuk kepada Allah’. Walaupun untuk itu kadang atau bahkan harus memaksa diri. “Bukannya kalau terpaksa, nanti jadinya tidak ikhlas?”. Itulah selama ini kita salah kaprah memaknai ikhlas sebagai ‘rela’, atau ‘suka-benci’. Padahal ikhlas itu urusan hati si pelaku dengan Rabbnya. Jika memang tidak ikhlas, tinggal memaksa diri untuk ikhlas karena memang tujuan ibadah adalah Allah.

Kita langsung mengambil contoh dalam pelaksanaan ibadah, contoh ketika ada ayat “Diwajibkan atas kalian berperang, padahal …sesuatu yang kamu benci” (QS. Baqarah 216). Jika ikhlas dimaknai suka-benci maka bayangkan, takkan ada yang pergi untuk berjihad. Di ayat yang lain juga dinyatakan: “Berangkatlah kamu baik dalam keadaan berat dan ringan, dalam berjihad” (QS. Taubah 41). Berbicara ikhlas memang berat apalagi praktiknya, tapi ikhlas itu harus bisa kita lakukan.

Ikhlas itu kadangkala perlu keterpaksaan. Jika karena terpaksa, kemudian urung melakukan amal shalih, maka takkan pernah ada yang beramal shalih. Dalam sebuah riwayat tentang Perang Ahzab, Hudzaifah bin Yaman memberi kita teladan tentang ‘ikhlas dalam keterpaksaan’. Saat perang Ahzab, kondisi dingin, lelah, lapar. Rasulullah menawarkan kepada pasukan, siapa yang mau malam itu pergi mengintip kemah Abu Sufyan. Tawaran itu sampai Beliau saw, ulangi berkali-kali, karena memang tak satupun yang beranjak berdiri sambut seruan itu, di tengah cuaca tak bersahabat. Sampai akhirnya Rasulullah, memanggil nama Hudzaifah, lalu Hudzaifah segera menyambut seruan itu, menembus pekat dan dinginnya malam menuju kemah Abu Sufyan.

Dalam fragmen perang Ahzab di atas bahwa ‘terpaksa’ Hudzaifah melaksanakan perintah Rasulullah Saw. untuk melakukan aksi pengintipan terhadap kemah Abu Sufyan. Dalam kondisi musim dingin yang amat sangat, yang bisa membuat seseorang tercegah untuk keluar rumah, tapi karena demi melaksanakan perintah Rasulullah Saw, maka Hudzaifah pun pergi. Seandainya ikhlas itu diukur dengan “rela-suka”, maka bisa jadi Hudzaifah tidak melaksanakan perintah Rasulullah Saw.. Atau ketika Hudzaifah sudah sampai di perkemahan Abu Sufyan, sebenarnya dia bisa memilih untuk membunuh secara langsung Abu Sufyan, karena memang pengintaiannya tidak diketahui siapapun dan pada posisi yang strategis. Dan sepulang dari membunuh Abu Sufyan, maka nama Hudzaifah jadi terkenal karena membunuh salah satu gembong musyrikin, seorang diri. Tapi itu semua tidak dipilih untuk dilakukan oleh Hudzaifah, disamping memang perintah dari Rasulullah Saw, hanya untuk mengintai. Itu menjadi bukti bahwa Hudzaifah melakukan perintah itu karena ikhlas, semata-mata karena Allah.

Ibrah yang lain tentang keikhlasan bisa kita peroleh dari Khalid bin Walid, ketika dipecat sebagai panglima perang. Khalid sebelum masuk islam, dia salah satu pemimpin pasukan Quraisy yang memporak-porandakan pasukan kaum muslimin di Perang Uhud. Tetapi, ketika dia masuk Islam, dia pun menjadi pemimpin pasukan Islam yang tak terkalahkan. Prestasinya mulai nampak ketika memimpin pasukan pada perang Mu’tah. Ketika itu ia menggantikan tiga panglima perang yang berturut-turut gugur sebagai syahid. Dengan setrateginya yang jitu, ia berhasil memenangkan pertempuran. Dan sejak itu, ia mendapat gelar Saifullah (pedang Allah). Namun pada saat berkecamuknya perang Yarmuk, perang besar antara Islam dan Romawi, tiba-tiba datang utusan membawa surat dari khalifah Umar bin Khathab bahwa dirinya diberhentikan dari pimpinan pasukan yang digantikan Abu Ubaidah bin Jarrah. Bisa saja Khalid protes atas surat tersebut, tapi Khalid menerima keputusan itu dengan tenang. Ketika ada pihak yang mempertanyakan sikapnya, dengan lantang ia menyampaikan bahwa ia berperang bukan demi Umar, tetapi demi Tuhannya Umar. dan iapun kembali berjihad dengan ikhlas.

Sekali lagi, ikhlas itu memang tidak ringan, kalau kita mampu memaksa diri untuk ikhlas maka disitulah nilainya lebih berat. Orang yang bergaji 2 juta per bulan, tentu infaq 50 ribu sesuatu yang ringan. Tapi bagi yang berpenghasilan 100 ribu per bulan, berinfaq 50 ribu adalah luar biasa. Tapi bukan itu yang jadi ukuran melainkan keikhlasan, dan ikhlas tidak ada kaitannya dengan kerelaan, bahkan untuk bisa ikhlas kadang kita perlu memaksakan diri. Seperti orang yang ingin bangun tahajud, jika menunggu ikhlas (yang diartikan ‘rela’), maka akan sulit untuk memulainya. Tapi ternyata, kadang perlu juga dipaksakan untuk bangun malam melaksanakan sholat tahajud, yang bisa jadi selanjutnya akan bisa jadi kebiasaan (habits).

Itulah beberapa kisah yang memberikan kita pemahaman yang benar tentang arti ikhlas meski dalam keadaan terpaksa. Semoga kita diberi jalan kemudahan untuk ikhlas sehingga tidak harus memaksa diri untuk ikhlas. Dan semoga amal kita selama ini, tercatat sebagai amal yang shalih”. Wallahualam [lukyrouf]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *