Hukum Khitan Bagi Perempuan
CIVILITA.COM – Kata al-khitan berasal dari al-khatn yang berarti tempat yang dipotong dari kemaluan laki-laki dan perempuan. Kata tersebut bisa untuk laki-laki maupun perempuan. Tapi ada yang berpendapat bahwa istilah al khitan hanya untuk laki-laki, sementara untuk perempuan adalah al-khafdh. Untuk memotong keduanya disebut al-idzar dan al-khafdh. Secara istilah al khitan adalah memotong sebagiaan dari anggota tubuh tertentu.
Mengenai hukum berkhitan pada perempuan, para ulama berbeda pendapat. Ada yang berpendapat wajib, ada pula yang berpendapat sunnah dan makramah (kehormatan) saja. Di antara ulama yang mewajibkannya adalah As Sya’abi, Rubai’ah, Imam Malik, Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad dan Al Auza’i. Sedangkan Abu Hanifah dan Al Hasan berpendapat bahwa khitan adalah amalan yang disunnahkan. (Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidhah, Al Jami’ fil Fiqhi An-Nisa’). Sebagian ulama Syafi’iyah juga ada yang berpendapat sunnah dan makramah saja.
Kalangan ulama yang berpendapat bahwa khitan bagi perempuan itu wajib berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari hadis Kulaib kakek Utsaim bin Katsir bahwa Nabi Muhammad saw bersabda kepadanya, “Lemparkanlah darimu rambut kekufuran dan berkhitanlah”.
Imam Al Baihaki mengatakan, “Yang terbaik adalah berhujah dengan menggunakan hadis Abu Hurairah ra yang terdapat dalam Shahihain secara marfu’, bahwa Nabi Muhammad saw bersabda, “Ibrahim as berkhitan ketika usianya mencapai delapan puluh tahun dengan qudum (kapak). Allah Swt berfirman,”Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) , ‘Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif.”
Al Qurthubi berkata, Qatadah pernah mengatakan, “(Ajaran Nabi Ibrahim dimaksud) adalah berkhitan”.
Sementara kalangan ulama yang berpendapat bahwa khitan bagi perempuan itu sunnah dan makramah bersandar pada hadis Rasulullah Saw, “Khitan itu sunah bagi pria dan makramah (kemuliaan) bagi perempuan”.
Meski para ulama berbeda pendapat dalam soal hukum, tetapi perlu diperhatikan bahwa sesungguhnya khitan pada perempuan dapat menstabilkan syahwatnya. Sebab jika tidak dikhitan, perempuan akan merasakan desakan kuat dari syahwatnya. Perempuan yang tidak dikhitan cenderung akan melakukan perbuatan yang tidak sepantasnya dilakukan. Karena itu, perbuatan keji dan cabul terjadi jauh lebih banyak di kalangan perempuan non-muslim. Di samping itu, secara medis, cairan yang ada pada tempat tersebut akan menimbulkan aroma yang tidak sedap.
Khitan bagi perempuan akan menambah kecantikan dan keindahannya serta menambah keelokan dan keceriaan pada air muka. Hal tersebut tidak akan didapatkan oleh perempuan-perempuan yang tidak dikhitan. Tapi perlu diingat, bahwa mengkhitan perempuan juga tidak boleh secara berlebihan. Karena tindakan itu akan melemahkan syahwatnya. Efeknya, suami tidak akan dapat menemukan kelezatan yang berhubungan intim (jima’).
Cara Khitan Perempuan
Bagi perempuan, khitan adalah memotong sebagian kulit yang ada di atas tempat keluarnya air kencing yang menyerupai balung (jengger) ayam jantan. Khitan bagi perempuan adalah mengambil sebagian kecil saja dari bagian kulit tersebut dan tidak boleh berlebihan. Hal ini didasarkan hadits Ummu ‘Athiyah bahwa ada seorang wanita yang mengkhitan di Madinah, lalu Rasulullah saw bersabda kepadanya,:
“Janganlah kamu memotong berlebihan, sebab yang demikian itu paling membahagiakan perempuan dan paling disukai oleh suami(nya)” (HR. Abu Dawud)
Terkait dengan hadits di atas, Ibnu Hajar Al Asqalani mengatakan,”Hadits tersebut ada penguatannya dari hadits lain, yakni hadits Anas dan Ummu Aiman dari Abu Syekh, dalam kitab Al-Aqiqah; sedangkan riwayat lainnya dari adh-Dhahak bin Qais dari Imam Baihaki. Hadits tersebut meskipun dikatakan dhaif, tetapi apabila telah ditopang oleh beberapa hadits lainnya, maka kedudukannya menjadi kuat”.
Al Mawardi mengatakan, “Khitan bagi perempuan itu dengan memotong kulit yang menutupi bagian atas farjinya, di atas tempat masuknya zakar. Bentuknya seperti jengger ayam jantan. Yang wajib dipotong adalah kulit bagian atasnya tanpa mencabutnya (tanpa menghilangklan semuanya). Wallahua’lam bisshawab. [MSR]