Belajar Malu Dari Imam Syafi’i, Memuliakan Ilmu dan Guru
CIVILITA.COM – Menjadi guru adalah profesi mulia, sebagaimana mulianya kedudukan Ilmu dan para pencari ilmu dalam pandangan Islam. Banyak argument dalil mengenai kedudukan yang mulia bagi orang yang berilmu:
Pertama, Allah akan meninggikan derajat orang yang berilmu di akhirat dan di dunia. Di akhirat, Allah akan meninggikan derajat orang yang berilmu beberapa derajat berbanding lurus dengan amal dan dakwah yang mereka lakukan. Sedangkan di dunia, Allah meninggikan orang yang berilmu dari hamba-hamba yang lain sesuai dengan ilmu dan amalan yang dia lakukan. Allah Ta’ala berfirman:
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS Al Mujadalah: 11)
Kedua, ilmu adalah warisan para Nabi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya, maka dia telah memperoleh keberuntungan yang banyak.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi)
Dan sabda Beliau Saw yang lain, “Ulama adalah pewaris para nabi.” (HR At-Tirmidzi)
Ketiga, orang yang berilmu yang akan mendapatkan seluruh kebaikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa yang Allah kehendaki mendapatkan seluruh kebaikan, maka Allah akan memahamkan dia tentang agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Keempat, menuntut ilmu atau mempunyai ilmu dan kemudian disebarkan adalah investasi tiada merugi. Coba perhatikan sabda Rasulullah Saw:
“Apabila anak Adam meninggal, maka terputuslah amalnya kecuali tiga, yaitu ilmu yang bermanfaat….” (HR Muslim)
Kelima, menuntut ilmu sebagai kewajiban. Rasulullah Saw menyampaikan hadits: “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim.” (HR. Ibnu Majah)
Apa benang merah yang bisa kita ambil dari uraian betapa mulianya ilmu dan para pencari ilmu? Ya, sebagai bentuk penghormatan terhadap ilmu maka kita harus hormati guru atau “mantan” guru kita, karena dari beliaulah kita mendapatkan ilmu dan kemuliaan tersebut. Meskipun, ada oknum guru yang berbuat keburukan mencoreng profesi mulia sebagai guru, yang kita baca dan saksikan beritanya di media, bukan menafikan kasus-kasus tersebut, kita tetap muliakan para guru kita.
Sebagai bentuk ‘colekan’, buat murid dan juga guru, Imam Syafi’i pernah menyampaikan, “Sesungguhnya kehidupan pemuda itu, demi Allah hanya dengan ilmu dan takwa (memiliki ilmu dan bertakwa), karena apabila yang dua hal itu tidak ada, tidak dianggap hadir (dalam kehidupan).” Gejlig! Ada yang merasa tertuduh nggak?
Baik yang merasa tertuduh atau tidak dengan perkataan Imam Syafii di atas, tapi yang jelas kita semua tertohok dengan perkataan beliau. Dan Imam Syafi’i tidak hanya berkata, tapi beliau membuktikan perkataannya pada dirinya sendiri. Jika kita membaca sejarah tentang pemuda syafii, dia menggadaikan masa kecilnya untuk mencari ilmu. Berguru kepada para ahli ilmu, salah satunya Imam Maliki. Hasilnya? Pada umur belia, Syafi’i berhasil menghafal di luar kepala, kitab Al-Muwathaq karangan gurunya. Selain itu beliau juga hafal Al-Qur’an sebelum dia baligh. Sungguh luar biasa kan? Subhanallah.
Setelah Syafi’i dewasa dan mengusai banyak ilmu dan kecerdasan, kita tahu sejarah mencatat Imam Syafi’i sebagai salah mutjahid mutlak, layaknya guru-guru sebelumnya. Namun ketika As-Syafi’i telah menjadi Imam besar, tidak lupa dia berterimakasih kepada gurunya, salah satunya kepada Imam Maliki. Dia menyatakan kekagumannya setelah menjadi Imam dengan pernyataannya yang terkenal berbunyi: “Seandainya tidak ada Malik bin Anas dan Sufyan bin Uyainah, niscaya akan hilanglah ilmu dari Hijaz.” Juga dia menyatakan lebih lanjut kekagumannya kepada Imam Malik: “Bila datang Imam Malik di suatu majelis, maka Malik menjadi bintang di majelis itu.”
Dia juga sangat terkesan dengan kitab Al-Muwattha’ Imam Malik sehingga dia menyatakan: “Tidak ada kitab yang lebih bermanfaat setelah Al-Qur’an, lebih dari kitab Al-Muwattha’ .” Dia juga menyatakan: “Aku tidak membaca Al-Muwattha’ Malik, kecuali mesti bertambah pemahamanku.” Subhanallah, seharusnya kita malu kepada Imam Syafi’i dalam memuliakan ilmu dan guru. [lukyrouf]