Seputar Fiqh Gadai

 Seputar Fiqh Gadai

Ilustrasi

Menurut para penganut mazhab Abu Hanifah, penggadai tidak boleh memanfaatkan barang yang digadaikan tersebut dalam bentuk apapun, kecuali dengan seizin pemegang barang gadai tersebut.

Dengan demikian itu dia tidak dibenarkan menunggangi binatang tunggangan atau menempati rumah atau menyewakannya, tidak boleh juga mengenakan atau meminjamkan pakaian selama masih digadaikan kecuali dengan izin pemegang gadai. Tidak ada perbedaan dalam hal itu, baik pemanfaatan tersebut mengurangi nilainya atau tidak. Dan jika pemegang gadai telah memberikan izin, maka yang demikian itu dibenarkan. Sebenarnya, semua keuntungan dan apa yang dihasilkan dari barang gadai tersebut merupakan hak penggadai. Dengan demikian, apa yang dihasilkan dari barang gadai tersebut yang berupa kurma, susu, telur, bulu dan sebagainya menjadi hak penggadai.

Sedangkan menurut para penganut mazhab Hanbali, barang gadaian baik yang berupa binatang tunggangan atau binatang perahan maupun binatang bukan tunggangan atau perahan. Jika binatang tunggangan atau perahan, maka pemegang gadai boleh memanfaatkannya, baik dengan menungganginya maupun memeras susunya tanpa meminta izin kepada penggadai. Yang demikian itu karena berdasarkan pada kesepakatan di antara keduanya.

Dan jika binatang tersebut bukan tunggangan atau perahan, maka pemegang gadai boleh memanfaatkan barang gadaian kecuali seizin dari penggadai secara gratis, selama penggadaian barang tersebut bukan karena qiradh. Jika karena qiradh, maka pemegang gadai tidak boleh memanfaatkannya meskipun seizing penggadai. Demikian juga sebaliknya, tidak diperbolehkan bagi penggadai memanfaatkannya tanpa adanya izin dari pemegang gadai.

Sedangkan hasil dari barang yang digadaikan, baik yang melekat maupun yang terpisah darinya, seperti susu, telur, bulu dan pelepah maupun serabut yang terjatuh dari pohon atau kayu yang dihasilkan dari pohon itu sendiri. Semuanya itu menjadi barang gadaian yang berada di tangan pemegang gadai wakil atau orang yang ditunjuk untuk memegangnya, maka semuanya ikut dijual bersama barang gadai yang asli. Dan jika hasil-hasil dari barang gadaian itu tidak dapat bertahan lama, maka boleh dijual dan hasil dari penjualan tersebut dijadikan juga sebagai barang gadaian. (Kitab Al-Fiqhu ‘ala Al-Madzahibi Al-Arba’ah). []

Sumber: Syekh Kamil Muhammad Uwaidah. Fiqih Wanita (Edisi Lengkap) (terjemahan). Jakarta: Pusataka Al-Kautsar, 2009.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

fourteen + 8 =