Rasulullah Saw pun Bercanda
NABI Muhammad Saw, selain sebagai seorang Nabi dan Rasul, juga seorang pemimpin. Rasulullah Saw memimpin masyarakat Madinah layaknya seorang kepala negara. Selain berdakwah menyampaikan risalah Islam, beliau juga mengurusi urusan umat, baik urusan dalam negeri maupun luar negeri.
Sebagai seorang pemimpin, Rasulullah Saw juga sesekali bercanda kepada sahabatnya. Bedanya dengan candaan pada umumnya, canda Rasulullah adalah kebenaran. Sebab beliau tidak berkata kecuali kebenaran. Baik kepada anak-anak, orang tua, lelaki maupun perempuan.
Dr. Muhammad Fathi dalam kitabnya, “Al-Qiyadah fil Islam”, yang diterjemahkan menjadi “The Art of Leadership in Islam, Meneladani Kepemimpinan Nabi dan Khulafaur Rasyidin” (Penerbit Khalifa, 2009), menulis sejumlah riwayat tentang canda Rasulullah Saw kepada para sahabatnya.
Rasulullah Saw, kata Doktor Fathi, tidak enggan bercanda, dan tidak membenci kesenangan dan riang gembira. Catatan pentingnya, dari sejumlah riwayat tentang guyonan Rasulullah itu tidak ada satu kalimat pun dari beliau yang keluar dari batasan kesopanan dan menyimpang dari pendidikan dan arahan.
Guyonan itu dimaksudkan untuk menghilangkan kebosanan, rasa jemu dan memunculkan rasa senang dan gembira. Saat harus serius, mereka pun menjadi sosok pejuang pemberani.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, ia berkata, “Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, engkau bersenda gurau dangan kami.” Rasulullah menjawab, “Sesungguhnya aku tidak mengatakan kecuali kebenaran.” (HR. Bukhari)
Diriwayatkan dari Anas ra ia berkata, “Rasulullah adalah orang yang paling baik akhlaknya. Aku mempunyai saudara Abu Umair. Ketika Rasulullah datang dan melihatnya, Rasulullah berkata, “Abu Umair apa yang dilakukan oleh An-Naghir?.” (HR Ibnu Majah dan Ahmad). An Naghir adalah burung yang dipakai bermain oleh Umair.
Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra, bahwasannya ada seorang laki-laki datang kepada Nabi, maka beliau memberikan kendaraan agar dinaiki. Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya kami menaikkanmu pada anak unta”. Lelaki tersebut berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang aku perbuat dengan anak unta?”. Maka Rasulullah menjawab, “Bukankah unta Itu unta betina.” (HR Ahmad dan Tirmidzi).
Diriwayatkan dari Anas ra, ia berkata, “Rasulullah Saw berkata kepadaku, “Wahai orang yang mempunyai dua telinga.” (HR. Timidzi). Rasulullah bermaksud bercanda dengannya.
Diriwayatkan dari Anas ra, ia berkata, “Terdapat seorang lelaki dari pedalaman yang bernama Zahir. Ia sering datang kepada Nabi Saw untuk memberikan hadiah. Dan setiap kali hendak pulang, Nabi selalu mengantarnya hingga jauh. Maka Rasulullah berkata, “Sesungguhnya Zahir tampak bagi kita, dan kita akan mendatanginya.”
Rasulullah sangat mencintainya. Zahir adalah seorang lelaki yang buruk rupa. Suatu ketika, Rasulullah mendatanginya ketika ia sedang menjual barang dagangannya. Kemudian Rasulullah merangkulnya dari belakang, dan Zahir tidak melihatnya; maka ia berkata, “Lepaskan aku, siapakah ini?,” kemudian Zahir menoleh dan mengertilah ia bahwa Rasulullah yang merangkulnya, maka ia tidak menjauhkan punggungnya yang menempel di dada Rasulullah.
Kemudian Rasulullah mengatakan, “Siapakah yang mau membeli budak?” maka Zahir berkata, “Wahai Rasulullah, demi Allah, jika demikian, kamu akan menemukanku sebagai seorang yang tidak laku.” Kemudian Rasulullah berkata, “Namun bagi Allah, kamu bukanlah orang yang tidak laku.” (HR Ahmad dan Tirmidzi).
Diriwayatkan dari Al Hasan ra, ia berkata, “Ada seorang perempuan tua datang kepada Nabi Saw dan berkata, “Wahai Rasulullah, doakanlah aku agar Allah memasukkanku ke dalam surga,” Rasulullah mengatakan, “Wahai Ummu Fulan, sesungguhnya surga tidak dimasuki oleh orang yang sudah tua (sepertimu).”
Al Hasan melanjutkan ceritanya, “Maka perempuan tadi langsung berpaling sambil menangis, kemudian Rasulullah mengatakan, “Beritahukankah kepadanya bahwa ia tidak masuk surga dalam keadaan tua renta seperti itu. Sesungguhnya Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung. Dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan.” (QS. Al Waqi’ah: 35-36)
Tidak hanya Rasulullah Saw, para sahabat pun dalam kondisi-kondisi tertentu juga suka bercanda.
Diriwayatkan dari Bakar bin Abdullah, ia berkata, “Para sahabat Nabi saling melempar dengan buah semangka.” (guyon dan bersenda gurau, namun ketika sedang serius, mereka adalah para pahlawan (yang pemberani dan keras).
Diriwayatkan dari Ummu Salamah ra, bahwa sesungguhnya Abu Bakar ra sedang keluar melakukan niaga ke Bushra. Ia ditemani oleh Na’iman –orang yang sering membuat Nabi Saw tertawa– dan Suwaibith bin Harmalah ra, keduanya adalah termasuk orang yang ikut dalam Perang Badar. Pada saat itu, Suwaibith membawa bekal, maka Na’iman berkata kepadanya, “Berikanlah aku makanan.” Suwaibith menjawab, “Tunggu sampai Abu Bakar datang.”
Na’iman adalah seseorang yang humoris dan suka bercanda. la pergi kepada orang-orang yang sedang berkerumun dan berkata, “Maukah kalian membeli dariku seorang budak Arab yang bagus.” Mereka menjawab, “Ya”. Na’iman kemudian melanjutkan bicaranya, “Namun ia adalah seorang yang pandai berbicara, dan barangkali saja ia mengatakan, “Aku adalah orang yang merdeka,” Jika kalian memang berkeinginan untuk membelinya, maka jangan hiraukan dia dan tinggalkan saja harga pembayarannya kepadaku.” Mereka mengatakan, “Kami akan membelinya.”
Orang-orang pun lantas membeli Suwaibith dari Na’iman dengan harga sepuluh unta muda. Maka digiringlah unta-unta tersebut dan berkata, “Bagi kalian barang-barang ini.” Maka Suwaibith berkata, “la bohong, aku adalah lelaki merdeka.” Pembeli tersebut mengatakan, “Ia telah memberitahukan kepada kami berita tentang kamu.” Kemudian orang-orang melemparkan tali ke leher Suwaibith dan membawanya pergi.
Kemudian datanglah Abu Bakar. la diberitahu mengenai kejadian tersebut, maka Abu Bakar pergi bersama para sahabatnya kepada orang pang yang telah membeli Suwaibith. Dikembalikannya unta-unta tersebut dan Suwaibith diambil kembali. Kemudian orang-orang menceritakan hal ini kepada Nabi, sehingga Nabi dan para sahabatnya tertawa karenanya sampai setahun.” (HR. Ahmad). Wallahu a’lam. [SR]