Mengenal Ayat Al-Muhkam dan al-Mutasyabih dalam Al-Qur’an

 Mengenal Ayat Al-Muhkam dan al-Mutasyabih dalam Al-Qur’an

Ilustrasi: Surat Al-Fatuhah.

MENURUT Syaikh Manna’ Al-Qaththan dalam bukunya “Mabahits fi Ulumil Qur’an” (diterjemahkan “Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an”, Pustaka Al-Kautsar), secara bahasa, muhkam berasal dari kata-kata, “Hakamtu dabbah wa ahkamtu,” artinya saya menahan binatang itu.

Kata al-hukm berarti memutuskan antara dua hal atau perkara. Maka, hakim adalah orang yang mencegah kezaliman dan memisahkan antara dua pihak yang bersengketa, serta memisahkan antara yang haq dengan yang batil dan antara kejujuran dan kebohongan. Dikatakan, “Hakamtu as-safih wa ahkamfuhu,” artinya saya memegang kedua tangannya.

Juga dikatakan, “Hakamtu dabbah wa ahkamtuha,” artinya saya membuatkan “hikmah” pada binatang itu. Hikmah di sini maksudnya kendali yang dipasang pada leher, sebab ia berfungsi untuk mengendalikannya agar tidak bergerak secara liar. Dari pengertian inilah lahir kata hikmah, karena ia dapat mencegah pemiliknya dari hal-hal yang tidak pantas. “Wa ihkam asy-syai'”, artinya menguatkannya, dan muhkam berarti yang dikokohkan.

Ihkam al-kalam berarti mengokohkan perkataan dengan memisahkan berita yang benar dari yang salah, dan urusan yang lurus dari yang sesat. Jadi, kalam muhkam adalah perkataan yang seperti itu sifatnya.

Dengan pengertian itulah Allah menyifati Al-Qur’an bahwa seluruhnya adalah muhkam sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya,

الۤرٰ ۗ كِتٰبٌ اُحْكِمَتْ اٰيٰتُهٗ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَّدُنْ حَكِيْمٍ خَبِيْرٍۙ

Alif Lām Rā. (Inilah) Kitab yang ayat-ayatnya telah disusun dengan rapi kemudian dijelaskan secara terperinci (dan diturunkan) dari sisi (Allah) Yang Mahabijaksana lagi Mahateliti. (QS. Huud: 1)

“Al-Qur’an itu seluruhnya muhkam,” maksudnya yaitu seluruh kata-katanya kokoh, fasih, dan membedakan antara yang haq dengan yang batil, serta antara yang benar dengan yang dusta. Inilah yang dimaksud dengan al-ihkam al-‘am atau makna muhkam secara umum.

Sedangkan mutasyabih secara bahasa berarti tasyabuh, yakni bila satu dari dua hal serupa dengan yang lain. Dan syubhah ialah keadaan dimana salah satu dari dua hal itu tidak dapat dibedakan dari yang lain karena adanya kemiripan di antara keduanya secara kongkrit maupun abstrak. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَاُتُوْا بِهٖ مُتَشَابِهًا ۗ

Mereka telah diberi yang serupa dengannya. (QS. Al-Baqarah: 25)

Maksudnya, sebagian buah-buahan surga itu serupa dengan sebagian yang lain karena adanya kemiripan dalam hal warna, tidak dalam hal ras dan hakikat.

Dikatakan pula mutasyabih adalah mutamatsil (menyerupai) dalam perkataan dan keindahan. Jadi, tasyabuh al-kalam adalah kesamaan dan kesesuaian perkataan, karena sebagiannya membenarkan sebagian yang lain serta sesuai pula maknanya. Inilah yang dimaksud dengan at-tasyabuh al-‘amm atau mutasyabih dalam arti umum.

Masing-masing muhkam dan mutasyabih dengan pengertian secara mutlak atau umum sebagaimana di atas ini tidak menafikan atau kontradiksi satu dengan yang lain. Jadi, pernyataan “Al-Qur’an itu seluruhnya muhkam” adalah dengan pengertian itqan (kokoh, indah), yakni ayat-ayatnya serupa dan sebagiannya membenarkan sebagian yang lain. Hal ini karena “kalam yang muhkam dan mutqan” berarti makna maknanya sesuai sekalipun lafazh-lafazhnya berbeda-beda.

Jika Al-Qur’an memerintahkan sesuatu hal maka ia tidak akan memerintahkan kebalikannya di tempat lain, tetapi ia akan memerintahkannya pula atau yang serupa dengannya. Demikian pula dalam hal larangan dan berita. Tidak ada pertentangan dan perselisihan dalam Al-Qur’an. Allah SWT berfirman:

اَفَلَا يَتَدَبَّرُوْنَ الْقُرْاٰنَ ۗ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللّٰهِ لَوَجَدُوْا فِيْهِ اخْتِلَافًا كَثِيْرًا

Tidakkah mereka menadaburi Al-Qur’an? Seandainya (Al-Qur’an) itu tidak datang dari sisi Allah, tentulah mereka menemukan banyak pertentangan di dalamnya. (QS. An-Nisaa’: 82)

Muhkam dan Mutasyabih Secara Khusus

Dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang muhkam dan mutasyabih yang dimaknai secara khusus, sebagaimana dalam firman Allah,

هُوَ الَّذِيْٓ اَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتٰبَ مِنْهُ اٰيٰتٌ مُّحْكَمٰتٌ هُنَّ اُمُّ الْكِتٰبِ وَاُخَرُ مُتَشٰبِهٰتٌ ۗ فَاَمَّا الَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُوْنَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاۤءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاۤءَ تَأْوِيْلِهٖۚ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهٗٓ اِلَّا اللّٰهُ ۘوَالرّٰسِخُوْنَ فِى الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ اٰمَنَّا بِهٖۙ كُلٌّ مِّنْ عِنْدِ رَبِّنَا ۚ

Dialah (Allah) yang menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Nabi Muhammad). Di antara ayat-ayatnya ada yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi Kitab (Al-Qur’an) dan yang lain mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya ada kecenderungan pada kesesatan, mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah (kekacauan dan keraguan) dan untuk mencari-cari takwilnya. Padahal, tidak ada yang mengetahui takwilnya, kecuali Allah. Orang-orang yang ilmunya mendalam berkata, “Kami beriman kepadanya (Al-Qur’an), semuanya dari Tuhan kami.” (QS. Ali Imran: 7)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *