Masjid Istiqlal, Simbol Toleransi di Indonesia
CIVILITA.COM – Siapa yang tidak mengenal Masjid Istiqlal? Ya, masjid terbesar di Indonesia sekaligus se-Asia Tenggara ini pasti dikenal oleh semua masyarakat Indonesia, walau sebagian besar di antara mereka barangkali hanya pernah mendengar namanya atau melihat melalui siaran televisi.
Masjid Istiqlal, yang berarti “merdeka” berada di Jakarta, ibu kota negara Indonesia sekaligus sebagai simbol Islam di Indonesia. Masjid ini berdiri di atas lahan seluas 12 hektar dengan bangunan masjidnya sendiri seluas 7 hektare, luas lantai 72.000 meter persegi, dan luas atap 21.000 meter persegi.
Bangunan utama masjid ini terdiri dari lima lantai dan satu lantai dasar. Masjid ini memiliki gaya arsitektur modern dengan dinding dan lantai berlapis marmer, dihiasi ornamen geometrik dari baja antikarat. Bangunan utama masjid dimahkotai satu kubah besar berdiameter 45 meter yang ditopang 12 tiang besar. Menara tunggal setinggi total 96,66 meter menjulang di sudut selatan selasar masjid. Masjid ini dapat menampung 200 ribu jamaah. Tidak salah jika dikatakan bahwa Istiqlal adalah masjid terbesar di Asia Tenggara.
Presiden pertama Indonesia, Ir Sukarno, adalah orang yang paling berjasa dalam sejarah pendirian masjid ini. Bukan saja karena dia Presiden yang memutuskan menyetujui pendirian Istiqlal, lebih dari itu, ia juga melandaskan pembangunan Istiqlal secara sangat filosofis, dan sangat teknis. Karena itu pula, masjid ini begitu monumental.
Sukarno, misalnya, adalah orang yang dengan keukeuh memilih lokasi taman Wilhelmina di lokasi bekas benteng Belanda Frederick Hendrik yang dibangun Gubernur Jenderal Van Den Bosch pada tahun 1834, sebagai tempat pendirian Istiqlal. Lokasi itu tepatnya terletak di antara Jalan Perwira, Jalan Lapangan Banteng, Jalan Katedral dan Jalan Veteran, yang menjadi tempat berdirinya Masjid Istiqlal saat ini.
Pemilihan lokasi ini mengharuskan Sukarno berbeda pendapat dengan wakilnya, Mohammad Hatta, yang lebih memilih Jalan MH Thamrin dengan alasan saat itu lebih dekat dengan perkampungan warga.
Bung Karno keukeuh pada pilihannya dengan landasan filosofi makna “merdeka”. Istiqlal yang diartikan kebebasan, atau kemerdekaan, sangat tepat jika didirikan di atas taman Wilhelmina. Sebab, Ratu Belanda Wilhelmina sebagai representasi penjajahan di bumi Indonesia, menurut Bung Karno, harus dihancurkan, dimusnahkan, dan diganti masjid bernama “kebebasan”, Istiqlal. Simbol dan pemaknaan ini yang membuat siapa pun akhirnya menyetujui sikap dan pilihan Bung Karno.
Uniknya, lokasi yang berada di seberang Lapangan Banteng itu, dipilih karena berdekatan dengan Gereja Kathedral. “Istiqlal di satu sisi, Kathedral di sisi lain, berdiri kokoh dan megah dengan harmonis, adalah perlambang harmonisasi kehidupan beragama di Indonesia,” begitu kurang lebih Bung Karno memaknai lokasi Masjid Istiqlal.
Dan barangkali yang membuat orang terkaget-kaget, ternyata arsitek pembangunan Masjid ini adalah seorang Kristen Protestan kelahiran Bonandolok, Sumatera Utara, Frederich Silaban.
Frederich memenangkan sayembara arsitektur masjid Istiqlal, yang dewan jurinya diketuai Presiden Sukarno dengan anggota dewan juri lain adalah Prof. Ir. Rooseno, Ir. H. Djuanda, Prof. Ir. Suwardi, Prof Dr Hamka, H. Abubakar Aceh, dan Oemar Husein Amin.
Bila dirunut, gagasan pendirian masjid Istiqlal itu mencuat pada 1953. Setahun kemudian, 1954 didirikan Yayasan Masjid Istiqlal yang diketuai Tjokroaminoto. Pada 1955 dilangsungkan sayembara rancang bangun atau arsitektur masjid berhadiah utama uang tunai 75.000 rupiah dan emas murni 75 gram, dan diikuti 27 peserta.
Setelah melalui pendalaman desain serta persiapan matang, tepat 24 Agustus 1961, bertepatan peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw, Presiden Ir. Soekarno yang langsung bertindak sebagai Kepala Bidang Teknik, berkenan melakukan upacara pemancangan tiang pertama pembangunan Masjid Istiqlal.
Secara keseluruhan pembangunan masjid Istiqlal selesai dibangun dalam kurun 17 tahun. Peresmiannya dilakukan pada 22 Februari 1978 oleh Presiden Soeharto yang ditandai dengan prasasti yang dipasang di area tangga pintu As-Salam. Biaya pembangunan diperoleh terutama dari APBN sebesar Rp. 7.000.000.000,- (tujuh milyar rupiah) dan US$. 12.000.000 (dua belas juta dollar AS).
Bicara soal simbol toleransi di Indonesia, Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, Prof Dr KH Ali Musthafa Yaqub mengatakan, Masjid Istiqlal memiliki pesona sendiri, sehingga banyak pemimpin dunia dari negara-negara sahabat datang berkunjung untuk melihat masjid ini.
Hal itu dikatakannya seusai menerima kedatangan Wakil Presiden India, Muhammad Hamid Ansari, yang datang mengunjungi Istiqlal dalam lawatannya ke Indonesia.
“Ada sebuah testimoni dari Menteri Luar Negeri Vatikan, dia mengatakan, Istiqlal is icon of tolerance in Indonesia. Ternyata banyak pemimpin negara yang ke sini, “belajar” tentang toleransi antar umat beragama,” kata Kyai Musthafa, Ahad (01/11).
Musthafa mengatakan kepada seluruh pemimpin dunia yang mengunjungi Istiqlal, resep keberagaman agama di Indonesia tetap rukun adalah, tidak pernah ada satu tokoh muslim di Indonesia yang mengatakan negara Indonesia hanya untuk muslim, walaupun sebagai mayoritas. Kedua, Islam memang mengajarkan adanya prinsip-prinsip kehidupan antarumat beragama.
“Muslim mengakui eksistensi non muslim dan menghargai mereka. Ini bukan politis, tapi ajaran agama. Lakum dinukum waliyadin. Itu menjadi pegangan bangsa Indonesia dalam menghadapi pluralitas agama di Indonesia,” ujarnya.
Hal itu yang kerap ia banggakan kepada para pemimpin negara yang berkunjung ke Masjid Istiqlal. Tercatat, Presiden Amerika Serikat, Barrack Obama, juga pernah menginjakkan kaki di Istiqlal.
“Saya sampaikan dulu ke Obama, di depan ada Katedral, kan parkirnya sempit. Kalau Minggu atau Natal, mereka parkirnya di Istiqlal. Begitu kita menghargai sesama umat,” jelas dia. [MSR]