Laksamana Cheng Ho dan Islamisasi di Jawa
Civilita.com – Sejarawan mengaitkan fakta bahwa pelayaran armada-armada Cheng Ho berhubungan erat dengan agama yang dianut Cheng Ho. Pelayaran tersebut digambarkan sebagai misi muhibah seorang penganut Muslim saleh ke masyarakat dan negara-negara Islam yang ketika itu sudah berkembang di Nusantara, seperti di Lambri, Samudra Pasai dan lain-lain. Ada pula yang mengatakan, Cheng Ho sebagai tokoh sejarah memiliki peran besar dalam Islamisasi di Indonesia, terutama di Pulau Jawa.
Ada argumentasi menarik terkait faktor-faktor Tionghoa dalam Islamisasi Asia Tenggara. Selama ini kita hanya mengenal dua arus Islamisasi Asia Tenggara, yakni arus dari Timur Tengah dan arus dari India, khususnya Gujarat. Kemunculan teori arus Tionghoa dalam Islamisasi di Indonesia tentunya akan memperkaya khazanah kesejarahan itu sendiri.
Pelayaran Cheng Ho sebanyak tujuh kali ke wilayah selatan tentunya memiliki pengaruh cukup besar. Di Jawa misalnya, terjadi apa yang disebut “Sino Javanese Muslim Cultures” yang membentang dari Banten, Jakarta, Cirebon, Semarang, Demak, Jepara, Lasem sampai Gresik dan Surabaya. Perpaduan kultur Cina-Jawa itu merupakan akibat dari perjumpaan Cheng Ho dengan masyarakat Jawa. Hal itu bisa dibuktikan, tidak hanya dalam berbagai bangunan peribadatan Islam yang menunjukkan adanya unsur Jawa, Islam, dan China, tetapi juga berbagai seni, sastra (batik, ukir) dan unsure kebudayaan lain.
Profesor Hembing Wijayakusuma, peneliti masalah Cheng Ho, mencatat 10 situs bersejarah yang tersebar di Indonesia yang menunjukkan adanya percampuran budaya lokal, Islam dan budaya Tiongkok. Harus diakui, bangsa Tionghoalah, dalam hal ini peran Cheng Ho, yang sebetulnya memiliki peran penting dalam Islamisasi di Jawa.
Pada 1425-1430 M, saat Kekaisaran Ming menghentikan semua pelayaran ke negeri seberang untuk sementara waktu, Cheng Ho tetap tinggal di Nanjing dengan pangkat kehormatan “Penjaga Kota Nanjing”. Apabila tidak berlayar, Cheng Ho tinggal di Nanking (Nanjing) dan mengawasi segala persiapan untuk pelayaran berikutnya. Oleh sebab itu, dalam masa 29 tahun dari pelayaran pertama sampai pelayaran ketujuh, dia lebih sering berada di atas geladak kapal daripada tinggal di rumah. Dia meninggal dunia di kota itu pada usia 64 tahun, tidak lama setelah kembali dari pelayaran terakhir.
Ada pendapat yang menyebutkan bahwa Cheng Ho sebenarnya meninggal di sekitar wilayah Calicut, India, di Samudera Hindia pada pelayaran terakhir sesuai kepercayaan Islam, sedangkan yang dikuburkan di Nanjing adalah pakaian kebesarannya.
Armada terakhir Cheng Ho kembali ke Tiongkok pada Juli 1433. Sebuah makam dibangun untuk menghormati Cheng Ho di Bukit Niu Shou Shan dekat Nanjing. Wafatnya Cheng Ho juga menandakan akhir kejayaan maritim Tiongkok. Namun nama besar Cheng Ho telah tersebar ke seluruh Asia Tenggara. Dia dikenal dengan nama kehormatan San Bao Gong (Sam Po Kong dalam dialek Fujian) atau San Bao Daren (Sam Po Tay Jin), dan sebutan lain dalam bahasa lokal. Kaisar bahkan memberi julukan “Ma San Bao” (Si Tiga Permata). Banyak klenteng didirikan di kawasan Asia Tenggara untuk menghormati dirinya sebagai tokoh pendiri dan pelindung kota-kota mereka.
Di dalam komunitas Cina (Tionghoa) dewasa ini, baik Muslim maupun non muslim, Cheng Ho telah dijadikan tokoh mitologi. Cheng Ho tidak hanya dipuja dan dikagumi sebagai “Bahariawan Agung”, tetapi juga disembah sebagai dewa di berbagai klenteng dengan sebutan “Sam Po Kong”. Tentu ini merupakan pengagungan berlebihan yang tak semestinya terjadi.
Kisah pelayaran Cheng Ho tidak hanya menorehkan jejak sejarah yang mengagumkan di setiap negera yang dilaluinya, tetapi juga mengilhami ratusan karya ilmiah, baik fiksi maupun non-fiksi, serta penemuan berbagai teknologi kelautan-perkapalan di Eropa Khususnya pasca penjelajahan sang maestro. Legenda “Sinbad Sang Pelaut” yang sangat popular di Timur Tengah juga diinspirasi oleh kisah legendaries Cheng Ho. (SAS)