KH Zainal Mustofa Pejuang Islam dari Singaparna
Di daerah Tasikmalaya dan Priangan Timur, sosok KH Zainal Mustofa dikenal sebagai pahlawan Islam. Dakwah Zainal selalu menyoroti masalah aqidah. Sesekali juga menyentuh ranah politik. Hampir di setiap kesempatan ceramahnya dipadati ummat Islam. Zainal seringkali konfrontatif dengan penjajah Belanda dan Jepang.
Pengaruh agitasinya semakin kuat dikalangan pemuda. Ini yang membuat resah penjajah Belanda. Belanda membujuk Zainal Mustofa dengan iming-iming harta agar dapat bekerjasama. Tawaran yang mengiurkan ini ditolaknya mentah-mentah. Menurutnya, penjajahan itu bertentangan dengan ajaran Islam. Bekerjasama dengan penjajah adalah perkara dosa besar. Dengan sikap tegas dan tidak kompromi ini, beberapa kali saat Zainal berceramah diturunkan secara paksa dari mimbar. Malah saat ia berceramah kemana pun, selalu diikuti agen rahasia penjajah Belanda.
Selepas perpindahan kekuasaan dari Belanda ke Jepang, sikap dan pandangan Zainal Mustofa terhadap penjajah tidak berubah sedikit pun. Bahkan kebenciannya semakin memuncak, manakala menyaksikan sendiri kezaliman penjajah terhadap rakyat. Itu semua membuat tekadnya untuk mengusir Jepang dari Indonesia semakin kuat. Ia dengan tegas menolak budaya seikere, yaitu suatu gerakan membungkuk untuk menghormati ke arah matahari terbit, yang diberlakukan penjajah Jepang bagi setiap rakyat Indonesia. Menurutnya, seperti juga alasan para ulama yang menolak saat itu, seikerei mirip dengan gerakan rukuk dalam salat.
Santri Kelana
Zainal Mustofa dilahirkan pada tahun 1901 di Kampung. Bageur Desa Cimerah Kecamata Kewedanaan Singaparna (sekarang Desa Sukarapih Kecamatan Sukarame) Kabupaten Tasikmalaya. Dari faktor genetik, Zainal berasal dari keluarga biasa. Zainal tidak mempunyai garis keturunan dari keluarga ulama. Ayahnya bernama Nawapi, seorang petani. Ibunya bernama Ratmah. Ketika lahir kedua orang tuanya memberi nama Umri.
Usia 12 tahun, Umri berhasil menamatkan pelajaran di Sekolah Rakyat. Ia sudah mampu menghafal Qur’an. Ia pun melanjutkan ke beberapa pesantren. Ia menuntut ilmu tidak hanya terpaku pada satu pesantren saja. Hasrat yang tinggi terhadap ilmu yang membuat ia berpindah-pindah pesantren. Itulah sebabnya ia disebut santri kelana. Dalam pengembaraannya ini Umri mengubah namanya dengan nama Hudaemi.
Kalau dilihat, memang setiap pesantren tidak mengajarkan seluruh ilmu agama. Masing-masing pesantren memiliki kurikulum khusus. Misalnya ada pesantren yang khusus mengkaji ilmu bahasa Arab, ada juga yang khusus ilmu tauhid dan ada juga yang khusus ilmu tasawuf.
Usianya belum genap 30 tahun, akan tetapi, diusia semuda itu, Hudaemi bercita-cita membangun pesantren di tanah kelahirannya. Alhamdulillah, ada seorang dermawan yang mewakafkan sebidang tanah seluas 296 meter persegi. Alhasil pada tahun 1927, Hudaemi mendirikan pesantren yang diberi nama Pesantren Sukamanah.
Selang beberapa waktu membangun pesantren, Hudaemi menunaikan ibadah haji. Saat itu di Jazirah Arab sedang berkembang gerakan pan-Islam yang dikomandoi Ibnu Saud dan juga gerakan Wahabi. Inilah yang ditakuti penjajah Belanda, saat rakyat Indonesia pergi haji dan kembali ke tanah air membawa faham tersebut.
Sepulangnya dari tanah suci, Hudaemi mengubah namanya menjadi Zainal Mustofa. Ia mengembangkan pendidikan di pesantren yang baru dirintisnya. Ia banyak menerjemahkan buku atau kitab ke dalam bahasa Sunda. Disamping mengajarkan ilmu agama, Zainal Mustofa juga memompa semangat perlawanan kepada penjajah ke seluruh santrinya.
Keluar Masuk Penjara
Ceramah-ceramah yang disampaikan oleh Zainal Mustofa membuat telinga penjajah Belanda memerah. Tak ayal lagi sikap perlawanan Zainal itu merupakan ancaman bagi keberlangsungan hidup penjajah Belanda di Indonesia. Dengan dalih pemberontak, pada tanggal 17 November 1941 penguasa Belanda menciduk Zainal Mustofa beserta para ulama lainnya. Mereka dijebloskan kedalam penjara di Tasikmalaya, tetapi kemudian dipindahkan di penjara Sukamiskin Bandung. Mereka mendekam merasakan dinginnya penjara selama 53 hari.
Selepas menghirup udara bebas, sikap dan prinsip Zainal Mustofa tidak goyah sedikit pun. Bahkan sikap perlawanan terhadap penjajah semakin gencar dilakukan. Selang sebulan menghirup udara bebas, Zainal Mustofa bersama KH Ruhiyat bulan Februari 1942 kembali diciduk dan dijebloskan dipenjara Ciamis.
Sementara itu, sebulan kemudian berkecambuk perang di wilayah pasifik. Jepang yang mengklaim dirinya sebagai “Pembela Asia” berhasil menundukkan dan mengambil alih wilayah-wilayah yang dikuasai sekutu. Setelah menguasai Semenanjung Malaysia, tentara Jepang bergerak untuk membebaskan dan menguasai Indonesia. Jepang sukses menghipnotis rakyat Indonesia dengan propaganda “saudara tua” yang siap membantu melepaskan Indonesia dari cengkraman penjajah Belanda. 12 Maret 1942 Jepang resmi menguasai Indonesia. Zainal Mustofa saat itu masih mendekam dibalik terali besi penjara Ciamis.
31 Maret 1942, Zainal dikunjungi perwira Jepang berpangkat kolonel. Perwira itu membicarakan pembebasan dirinya, tetapi tentu saja dengan syarat. Zainal Mustofa diminta untuk bekerjasama dengan Jepang. Pihak Jepang meminta Zainal untuk duduk di Sendenbu (Departemen Propaganda).
Seperti diprediksi, jawaban Zainal ternyata tidak memuaskan pihak Jepang, meski tidak berefek kemarahan pihak Jepang. Akhirnya 4 hari kemudian Zainal dibebaskan Jepang. Masyarakat Sukamanah menyambutnya dengan suka cita. Zainal pun kembali tenggelam dalam aktifitas dakwahnya. Zainal memberikan ceramah agar rakyat jangan terpengaruh dengan tipu muslihat pihak Jepang.
Dihukum Mati
Aktifitas dakwah yang dilakukan Zainal dinilai pihak Jepang sangat membahayakan. Apalagi saat Zainal Mustofa dan para ulama lainnya menolak budaya seikerei. Ibaratnya, Zainal Mustofa sudah menabuh genderang perang melawan Jepang.
Ketika itu, Jum’at 25 Februari 1944, menjelang ashar puluhan truk tentara siap tempur mendatangi Pesantren Sukamanah Tasikmalaya, Jawa Barat. Truk-truk itu ditumpangi tentara Jepang dan para pengkhianat bangsa. Mereka langsung mengeluarkan tembakan salvo, menghujani para santri yang hanya bersenjatakan bambu runcing, pedang, panah dan senjata seadanya.
Melihat yang datang menyerang diantaranya adalah bangsa sendiri, saat itu Zainal Mustofa mengeluarkan instruksi kepada santrinya. agar tidak melakukan perlawanan, sebelum musuh masuk ke halaman pesantren. Setelah musuh mulai menginjak halaman pesantren, barulah para santri mulai melakukan perlawanan. Namun karena jumlah kekuatan musuh yang lebih besar, ditambah peralatan lebih lengkap, akhirnya pasukan musuh berhasil menerobos dan menaklukkan santri Sukamanah, termasuk menangkap Zainal Mustofa. Dalam pertarungan yang tidak seimbang itu 86 santrinya gugur sebagai syuhada.
Zainal Mustofa dan pengikutnya ditahan di Tasikmalaya. Kemudian mereka dipindahkan ke Bandung. Setelah itu, Zainal Mustofa dipindah lagi hingga tidak diketahui keberadaannya. Belakangan, Kepala Erevele Belanda Ancol Jakarta memberi kabar Zainal Mustofa telah menjalani hukuman mati pada tanggal 25 Oktober 1944 dan dimakamkan di Taman Pahlawan Belanda Ancol Jakarta. Tahun 1970 barulah tabir misteri itu terkuak.
Zainal Musofa merupakan pejuang yang membela bangsa dan negara. Atas jasanya itu, namanya diabadikan sebagai nama jalan di pusat Kota Tasikmalaya. Oleh pemerintah Zainal dianugerahkan sebagai pahlawan nasional dengan SK Presiden RI Nomor 064/TK tahun 1972. Kemudian kerangkah jenazah almarhum beserta 17 pengikutnya pada tanggal 25 Agustus 1973 dipindahkan ke Makam Pahlawan Sukamanah. [Muis/Sahid]