Rasulullah Saw, Kepala Negara Bersahaja

 Rasulullah Saw, Kepala Negara Bersahaja

CIVILITA.COM – Kepala negara Madinah, Rasulullah Saw, mudah sekali kalau mau hidup mewah. Kendaraan mewah juga bisa diperoleh. Tetapi Beliau lebih memilih hidup sederhana, bahkan kekurangan.

Suatu ketika Rasulullah Saw mengunjungi salah seorang sahabatnya, Saad bin Muadz. Saad adalah salah seorang tokoh dan pembesar di Madinah. Ketika hendak pulang, Saad mendekatkan kepada Beliau seekor keledai, sembari berkata kepada anaknya, Qais, “Wahai Qais, temani Rasulullah Saw.” Kemudian Qais pun menemani Rasulullah. Kepada Qais, Rasulullah berkata, “Naiklah bersamaku.” Rupanya Qais merasa ‘sungkan’, hingga ia tidak mau memenuhi ajakan Rasulullah. Hingga Beliau mengatakan, “Pilih kamu naik atau kamu kembali (pulang)”.

Inilah salah satu teladan dan kisah bersahaja dari seorang Kepala Negara Madinah, Rasulullah Saw. Beliau berjalan tanpa pengawal dan tanpa iringan yang megah. Rasulullah cukup berjalan kaki dan pulang dengan seekor keledai dan Beliau ingin temannya ikut memboncengnya.

Ajakan beliau pada Qais untuk ikut naik keledai bersamanya bukanlah suatu yang aneh, melainkan kebiasaan beliau mengajak sahabatnya untuk ikut membonceng keledai, baghal, dan unta beliau. Ibnu Abbas berkata, “Tatkala Rasulullah datang ke Mekah, beliau disambut anak-anak Bani Abdul Muthalib, beliau membonceng mereka seorang di depan dan seorang lagi di belakang beliau.” Sedangkan Jabir pernah mengatakan, “Rasulullah pernah tertinggal dalam perjalanan karena menolong yang berjalan kaki untuk mengejar sahabat-sahabatnya dan memboncengnya, serta berdoa untuk mereka.”

Muhammad Saw sangat tawadhu dalam pakaian dan tempat tinggalnya. Beliau memakai pakaian seperti umumnya orang di sekitarnya. Tinggal di rumah seperti umumnya orang di sekitarnya. Negara telah membangun untuk beliau sederetan kamar (hujurat) yang dibangun dari batu bata yang ditumpuk, antara satu kamar dengan kamar yang lain dibatasi dengan dinding yang terbuat dari pelepah kurma dan tanah liat dan ditutupi dengan kulit atau penutup hitam dari serabut. Beliau selalu memenuhi undangan siapa saja, yang merdeka, yang hamba sahaya, yang kaya dan yang miskin. Beliau menerima permintaan maaf. Beliau menambal sendiri pakaiannya dan menyambung sandalnya dengan tangannya sendiri. Beliau menggunakan sendiri dirinya dan mencencang sendiri untanya. Makan bersama pembantu dan memenuhi keperluan yang lemah dan miskin.

Berkaitan dengan sifat tawadhu’ dan kesahajaan Rasulullah Saw ini, Al-Ustaz Said Hawwa dalam bukunya, Ar Rasul Saw, mengutip seorang pujangga Perancis Wiliam Moir, yang mengatakan:

“Sahaja dan mudah adalah gambaran seluruh hidupnya. Perasaan dan adab adalah sifat yang paling menonjol dalam pergaulan beliau dengan pengikutnya yang paling rendah sekalipun. Tawadhu, penyayang, sabar, mementingkan orang lain, dan dermawan adalah sifat yang selalu menyertai pribadinya dan menarik simpati orang di sekitarnya. Tak pernah diketahui dari ia bahwa ia menolah undangan orang kecil dan tidak pernah menolak hadiah walaupun sekecil apapun. Tidak pernah merasa paling mulia dan tinggi dalam majelisnya. Tidak seorang pun di sampingnya yang merasa bahwa ia tidak memperhatikannya secara khusus, meskipun orang itu adalah gembel. Jika ia bertemu dengan orang yang berbahagia karena suatu keberhasilan maka ia menggenggam tangannya dan ikut merasakan kegembiraannya. Jika bersama orang yang tertimpa musibah dan dirundung kesedihan, beliau pun ikut larut merasakan kesedihan mereka. Beliau sangat perasa dan pandai menghibur. Dalam masa paceklik, beliau membagi makanannya pada masyarakat. Beliau selalu sibuk berpikir tentang bagaimana menciptakan ketentraman dan kemakmuran orang di sekitarnya.”

Itulah gambaran seorang kepala negara yang sederhana, tawadhu’ dan bersahaja. Rasulullah Saw adalah teladan bagi para penguasa dan pejabat sepanjang massa. Wallahu a’lam bis shawwab. [MSR]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *