Hidup Ini Tak Bisa Semau Gue

 Hidup Ini Tak Bisa Semau Gue

CIVILITA.COM – “Tubuh-tubuh saya sendiri, terserah saya mau saya apakan, toh itu nanti urusan saya sendiri sama Tuhan!”, pernah dengar kalimat ini? Dimana? Kapan?… Tapi yang jelas kalimat itu menggambarkan sikap “penolakan” pelakunya, dan argument baru bagi yang saat ini sedang mendalami dunia maksiat.

Senada dengan itu, biasanya muncul pernyataan semacam ini “tidak usah ngurusin orang lain, urus diri sendiri saja”. Sejatinya bisa tidak kita bersikap seperti itu? Karena pada kenyatannya kita ini mahluk sosial, tidak bisa hidup sendiri, membutuhkan yang lain. Nah ketika membutuhkan yang lain, maka sudah pasti kita akan berinteraksi dengan siapapun. Adanya orang lain adalah cermin bagi kita. Ibarat cermin, jika melihat diri kita di cermin ada yang kurang pas, pasti akan dibenahi. Begitu pun orang-orang di sekitar kita, akan berlaku seperti itu. Entah itu orang tua, saudara kandung, tetangga, teman kita, dan seterusnya.

Seandainya semua orang bersikap seperti itu? Maksudnya berprinsip “Ini hidup gue, terserah mau gue”, maka apa jadinya masyarakat yang ada di sekitar kita? Tidak akan ada perubahan, perbaikan, reformasi, bahkan revolusi. Misalnya orang tua cuek terhadap kondisi anaknya, mau masuk sumur, masuk lubang biawak sekalipun dibiarkan, maka orang lain yang menyaksikan, orang seperti itu akan dikatakan orang tua jahat. Ketika ada yang mengatakan “jelek”, “jahat”, maka pasti akan ada orang yang berusaha memperbaikinya. Itu baru conto dalam sebuah keluarga, bagaimana kalau contohnya dalam masyarakat, negara? Itulah sudah kodratnya manusia berinteraksi, dan ketika berinteraksi akan ada take and give.

Islam agama fitrah, agama yang sesuai kodrati manusia. Untuk itu Islam mensyariatkan dakwah sebagai sebuah bentuk “care”. Saksikanlah Sabda Nabi Saw: Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barang siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah dia merubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu maka hendaknya dengan lisannya. Dan apabila tidak mampu lagi maka dengan hatinya, sesungguhnya itulah selemah-lemah iman.’.” (HR. Muslim)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk ma-nusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (QS Ali Imran: 110).

Kalau kita meninggalkan tugas mengajak kebaikan dan mencegah kemungkaran maka rusaklah masyarakat, dan menjadi buruklah pergaulan sosial. Upaya mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran tidak merupakan kewajiban individu tertentu saja, tetapi merupakan kewajiban setiap muslim, laki-laki atau perempuan, alim atau awam sesuai dengan kemampuan dan ilmunya. Indikasinya bisa dilihat dalam hadits Muslim diatas tadi memakai kata “man” yang artinya “barang siapa”, atau “siapa saja”, tidak ada genre menunjuk khusus pada gender (laki-perempuan, usia (muda-tua), dst:

Sehingga dengan demikian, pada hakekatnya orang yang menolak diajak untuk baik dengan alasan “ini hidup gue, terserah apa mau gue”, maka sebenarnya dia sedang mempertahankan diri untuk berbuat kerusakan baik bagi dirinya sendiri dan bisa jadi menular ke orang lain.

Dalam QS Al-Anfal : 25, Allah swt berfirman: ”Dan peliharalah diri kalian dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kalian. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” Ayat ini menegaskan bahwa kemunkaran yang merajalela tidak hanya akan berakibat buruk kepada para pelakunya saja, tetapi juga keseluruhan masyarakat itu. Ketika tidak ada usaha untuk melakukan pengubahan kemunkaran dalam sebuah masyarakat. Allah tidak akan meng-adzab secara khusus para pelaku kemunkaran dalam masyarakat tersebut, tetapi Allah akan menurunkan adzab-Nya secara merata.

Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam juga pernah memberikan sebuah ilustrasi tentang pentingnya mengubah kemunkaran yang kita lihat dalam sebuah masyarakat. Beliau mengumpamakan sebuah masyarakat sebagai sebuah kapal beserta para penumpangnya. Suatu ketika, beberapa orang yang berada di geladak dasar kapal hendak melubangi kapal untuk bisa mengambil air laut tanpa harus susah-susah naik ke geladak atas. Jika seisi kapal membiarkan tindakan ini, pasti kapal tersebut akan karam. Bukan hanya beberapa orang yang melubangi kapal saja yang akan tenggelam, tetapi semuanya akan ikut tenggelam. Tetapi jika rencana melubangi kapal itu dicegah, akan selamatlah seluruh penumpangnya. Demikianlah kira-kira pemisalan bagi kemunkaran dalam sebuah masyarakat (lihat hadits An-Nu’man bin Basyir yang dikenal dengan Hadits As-Safinah ’Hadits Kapal’ riwayat Al-Bukhari).

Bagi mereka yang masih emoh untuk dinasehati. Benar tubuhmu adalah punyamu, tapi siapa yang menciptakan dirimu? Apakah dirimu tercipta dari batu? Apa dirimu tercipta dengan sendirinya, layaknya teori materialisme Marx yang absurd itu?

Tentu saja jika kita sebagai seorang muslim tak layak mengadopsi pemikiran materialisme. Karena Islam menyadarkan kita bahwa manusia diciptakan oleh Al-Khaliq (Sang Pencipta). Sang Khalik itulah juga sekaligus Al Mudabir (Sang Pengatur), karena sebagai “creator” Allah tahu, apa kelemahan dan kelebihan “barang ciptannya”. Untuk itu, tidak layak bagi manusia merasa bisa mengatur dirinya sendiri, kemudian membuat aturan sendiri bahkan mengatakan “ini urusan saya dengan tuhan”.

Walhasil, satu sisi kita mahluk sosial yang selalu hidup berdampingan dengan orang lain, sehingga tidak bisa hidup “semau gue”. Sedangkan di sisi yang lain, kita ini mahluk Allah, tentu saja akan ada pertanggungjawaban di akhirat. Pertanyanya adalah, apakah salah kalau ada orang lain mengingatkan bahwa kita akan dimintai pertanggungjawaban kelak oleh Allah? (lukyrouf)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *