Gas dan Seluruh SDA dalam Timbangan Syariat

 Gas dan Seluruh SDA dalam Timbangan Syariat

Ilustrasi: Tabung gas LPG 3 Kg.

RASULULLAH SAW bersabda:

اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّارِ

“Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad)

Dari hadits diatas dijelaskan, padang rumput, air dan api adalah milik kaum muslimin, milik masyarakat, milik umum, karenanya tidak boleh dikuasai oleh individu ataupun korporasi atau perusahaan.

Bahkan negara pun tidak boleh menguasai harta kepemilikan umum, namun negara berfungsi sebagai pihak yang diberikan kewenangan oleh syara untuk mengelola segala sumber daya alam, untuk kemudian hasilnya diserahkan kepada pemiliknya yang sah dalam pandangan syariat, yaitu rakyat atau masyarakat, berupa ladang penggembalaan, air dan api.

Adapun yang termasuk dalam padang penggembalaan adalah segala jenis padang rumput yang digunakan untuk menggembala ternak yang luas dan tidak terbatas. Maka setiap orang boleh memanfaatkan padang penggembalaan untuk hewan ternaknya. Merumput bersama, tidak boleh dihalangi oleh siapapun. Tidak boleh dikuasai oleh satu individu dan korporasi.

Adapun air adalah segala hal yang mengandung air dengan jumlah banyak dan melipah ruah, tidak terputus, terus mengalir. Yang termasuk dalah kategori air adalah segala jenis mata air, sungai, danau, lautan hingga samudera, adalah harta kepemilikan umum yang tidak boleh dikuasai oleh satu orang atau sekelompok tertentu.

Seluruh masyarakat boleh memanfaatkan segala hal yang terkategori sebagai air. Tidak boleh ada yang menghalangai dalam pemanfaatannya.

Adapun api adalah segala jenis sumber daya alam yang meghasilkan panas. Yang termasuk dalam kategori api adalah listrik, gas, BBM, dan yang sejenis dengannya, yang diperoleh dari hasil eksplorasi barang tambang dan energi termasuk didalamnya gas dan minyak bumi.

Karenanya segala hal yang diperoleh dari hasil pengelolaan minyak bumi, gas alam, barang tambang dan energi, misalkan gas elpiji dan bahan bakar minyak lainnya (BBM), adalah milik umum milik masyarakat, yang wajib diserahkan dan didistribusikan secara merata kepada seluruh masyarakat, baik kaya maupun miskin, setelah dipotong biaya pengelolaan yang dilakukan oleh negara.

Negara tidak boleh menjual harta kepemilikam umum atau rakyat atau masyarakat kepada rakyat atau masyarakat. Karena harta kepemilikan umum sejatinya adalah harta milik rakyat yang seharusnya dikembalikan kepada rakyat.

Inilah tatanan syariat dalam memperlakukan sumber daya termasuk didalamnya adalah gas, sehingga kebaikan keberkahan bahkan kesejahteraan hidup bisa diraih oleh seluruh rakyat, sebab para pemimpin yang amanah dalam mengelola sumber daya alam milik rakyat.

Berbeda dengan sistem sekuler kapitalisme, yang menjadikan pengelolaan negara bagaikan mengelola sebuah perusahaan, sehingga menjadikan rakyat sebagai konsumen produk yang dihasilkan oleh negara, baik saat menghasilkan produk tersebut sendiri, atau saat proses menghasilkan produk tersebut negara melakukan kerjasama dengan para pemilik modal (kapitalis/oligarki).

Alhasil rakyat nenjadi konsumen produk tersebut. Padahal sejatinya produk tersebut dihasilkan dari harta kepemilikan umum, semisal produk yang berasal dari sumber daya alam baik hayati maupun non hayati semisal barang tambang dan energi.

Jadilah rakyat memiliki beban hidup yang tidak sedikit sebab ia harus membeli semua kebutuhan hidupnya yang difasilitasi oleh negara. Padahal aqod penguasa dengan rakyat adalah aqod riayah atau pengurusan, bukan aqod jual beli seperti layaknya pedagang dan pembeli.

Alhasil, saat aqod yang terjadi antara pemimpin dan rakyat adalah transaksional. Maka menjadi sebuah konsekuensi yang logis jika kebutuhan dasar rakyat akan senantiasa merangkak naik harganya, sebab penjual pastilah menginginkan keuntungan yang maksimal yang ingin diraih, dan disaat yang sama, merekapun tidak berani membuat gaduh rakyat yang bisa mengancam kedudukan para penguasa dikursi kekuasaan.

Maka akan timbul spekulasi dan kolusi, berupa pemberian subsidi untuk segelintir kalangan, misalkan kalangan miskin, yang kadang maksud subsidinya pun tidak tepat sasaran, demikian dan seterusnya hingga bisa melanggengkan rakyat tetap sebagai konsumen setia produk yang dihasilkan negara yang berkerja sama dengan para pemilik modal kapitalis, semisal listrik dan gas.

Karenanya kebijakan yang dihasilkan dari sistem sekuler kapitalisme akan senantiasa menjadikan rakyat menderita kehidupannya, sebab harus membayar tarif dasar listrik (TDL), yang terus naik, harus membeli gas LPG 3 kg yang kadang isinya sudah disunat kurang dari 3 kg, harus membayar biaya pendidikan dan kesehatan yang tidak murah, juga harus membayar biaya keamanan yang mahal.

Demikianlah hidup dalam sistem sekuler kapitalisme yang diterapkan hari ini dalam kehidupan rakyat, kehidupan masyarakat. Alhasil kesempitan hiduplah yang kita peroleh.

Karenanya kita butuh penerapan syariat Islam kaffah dalam bingkai khilafah kembali, agar kehidupan tertata dan manusiawi, sehingga rakyat tidak perlu antri gas, tidak harus membayar biaya kesehatan pendidikan dan keamanan yang tinggi sebab khilafah memenuhi seluruh hajat hidup rakyat dengan sempurna. Dan tidak perlu ada korban nyawa akibat kelelahan mengantre untuk membeli gas LPG 3 kg.

Sebab sistem Islam kaffah akan memiliki para pemimpin yang amanah sebagai konsekuensi dari keimanan dan ketaqwaannya, yang akan mengurusi kehidupan rakyatnya dengan amanah yang diberikan oleh Allah Swt dan Rasul-Nya, yang dilihat dan diambil untuk kemudian dijadikan sebagai perundangan dalam seluruh kebijakan publiknya, yang berasal dari Al-Qur’an dan Sunah Rasulullah Saw. Sehingga kesejahteraan rakyat dapat diraih.

Sebagaimana firman Allah SWT:

وَلَوۡ اَنَّ اَهۡلَ الۡقُرٰٓى اٰمَنُوۡا وَاتَّقَوۡا لَـفَتَحۡنَا عَلَيۡهِمۡ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَآءِ وَالۡاَرۡضِ وَلٰـكِنۡ كَذَّبُوۡا فَاَخَذۡنٰهُمۡ بِمَا كَانُوۡا يَكۡسِبُوۡنَ‏

“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-A’raf : 96). Wallahua’lam.

Ayu Mela Yulianti, S.Pt., Pegiat Literasi dan Pemerhati Kebijakan Publik.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *