Fotografi itu Mubah, tapi….
CIVILITA.COM – Gambar yang diambil dengan sinar matahari-sekarang dikenal dengan istilah fotografi – merupakan hal baru dan belum pernah ada pada masa Rasulullah Saw atau pun ulama salaf.
Syaikh Yusuf Al Qaradhawi dalam kitabnya, Al-Halal wal Haram fil Islam menjelaskan, ada pihak yang membatasi keharamannya pada patung (benda tiga dimensi), tidak mempermasalahkan fotografi sama sekali. Apalagi jika gambarnya tidak utuh. Akan tetapi, pihak lain mempersoalkan, apakah fotografi dapat di-qiyas-kan (analogi syar’I -red), dengan menggambar dengan kuwas? Atau, apakah illat (alasan) yang ditetapkan beberapa hadits tentang akan disiksanya para pelukis –yaitu karena hendak menandingi ciptaan Allah – itu dapat diberlakukan pada fotografi?
Sebagaimana yang dikatakan oleh para ahli ushul fiqih, apabila illat-nya tidak ada, maka ma’lul (yang dihukumi) pun tidak ada.
Jelasnya, persoalan ini ialah seperti yang difatwakan oleh Syekh Bukhait, Mufti Mesir dalam risalah “Al-Jawabusy Syaafii fii Ibaahatit- Tashwiril Futughrafi”. Bahwa pengambilan gambar dengan fotografi –yakni menahan bayangan dengan mengunakan sarana yang sudah dikenal di kalangan orang-orang yang berprofesi demikian—sama sekali tidak termasuk gambar yang dilarang. Karena menggambar yang dilarang itu ialah mewujudkan dan menciptakan gambar yang belum diwujudkan dan diciptakan sebelumnya, sehingga dapat menandingi makhluk ciptaan Allah. Sedangkan tindakan ini tidak terdapat dalam pengambilan gambar melalui alat fotografi (kamera) tersebut.
Namun demikian ada obyek gambar atau foto yang perlu diwaspadai. Sudah pasti, bahwa obyek gambar mempunyai pengaruh untuk menetapkan hukum haram-halalnya. Tidak seorang Muslim pun yang menentang haramnya gambar atau foto apabila obyeknya bertentangan dengan aqidah Islam atau syariat dan adabnya.
Menggambar atau memotret wanita telanjang atau semi telanjang dan menampakkan bagian-bagian khas wanita dan tempat-tempat yang rentan terhadap fitnah, atau gambar-gambar di tempat yang cukup membangkitkan syahwat sebagaimana kita lihat dengan jelas dalam majalah, surat kabar, dll.
Tidak diragukan bahwa semua itu haram, dan haram pula mengambar atau memotretnya. Haram juga menyebar luaskannya kepada masyarakat. Haram memasangnya di rumah-rumah, kantor-kantor, dan semua tempat. Haram menggantungkannya di dinding, dan haram pula kesengajaan untuk melihat dan memperlihatkannya.
Jadi, meskipun dalam Islam hukum fotografi jelas kehalalannya, tetap perlu diwaspadai betul obyek yang akan difoto. Karena, jika obyeknya mengandung unsur yang haram, maka aktivitas fotografi pun akan berbuah dosa. [MSR]