Dirikan Lazis, Mantan Wakapolri: Potensi Dana Zakat Indonesia Capai Rp328 Triliun
Jakarta (MediaIslam.id) – Mantan Wakapolri Komjen Pol (Purn) Syafruddin mengungkapkan, berdirinya Lazis Assalam bertujuan untuk menghimpun dana zakat dan menyalurkannya kepada delapan asnaf. Hal ini, kata Ketua Yayasan Lazis Assalam Fil Alamin itu, karena zakat merupakan salah satu rukun Islam.
“Potensi dana Zakat di Indonesia Rp328 Triliun, dan saat ini baru dapat terhimpun oleh lembaga-lembaga zakat Indonesia sekitar Rp18 Triliun, artinya ada potensi yang belum tergali,” kata Syafruddin yang juga Waketum Dewan Masjid Indonesia (DMI) melalui keterangan tertulis yang diterima Senin (27/6/2022).
Pembukaan Lazis Assalam Fil Alamin di Jakarta, Ahad (26/06), dilakukan dengan menggelar seminar tentang zakat dan wakaf. Seminar itu menghadirkan mantan Direktur Eksekutif Pusat Studi Ekonomi Islam Shaleh Kameel, Universitas Al-Azhar, Kairo, Prof Dasuki.
Prof Dasuki memaparkan tentang hakikat zakat wakaf sebagai pilar penting peradaban Islam. Menurutnya, melalui instrumen zakat, sektor ekonomi umat tumbuh dan berkembang.
Zakat diberikan kepada delapan asnaf agar mereka memiliki ketahanan ekonomi dan daya beli yang baik, dengan demikian zakat memberi arti pada pertumbuhan dan peningkatan ekonomi umat, makanya zakat harus dikelola dengan benar dan amanah” ujarnya.
Di sisi lain, sebagai salah satu rukun Islam, zakat bersifat wajib khususnya bagi orang yang telah mampu dan memenuhi syarat dan ketentuan zakat.
Ia menerangkan, ketika mengingkarinya berarti mengingkari ajaran prinsip dalam Islam, mengingkari salah satu rukun Islam, dan pada gilirannya bukan saja akan merusak sendi-sendi ajaran Islam itu sendiri. Namun, juga meruntuhkan salah satu pilar penting dalam peradaban umat yaitu sektor ekonomi.
“Maka, Lazis Assalam ini, selain bekerja untuk menyalurkan dana zakat kepada yang berhak menerimanya, penting untuk terus mengedukasi, mendakwahkan dan memberikan pencerahan serta ajakan untuk berzakat kepada orang-orang kaya,” lanjutnya.
Guru Besar Wakaf dan Investasi Syariah itu lebih lanjut mencontohkan beberapa makna asnaf penerima zakat. Asnaf fi sabilillah, misalnya. Dahulu, kata Prof. Dasuki, asnaf fi sabilillah dipahami sebagai orang-orang yang berjihad di jalan Allah dalam membela, mempertahankan dan memperjuangkan agama dan teritorial, termasuk para pasukan keamanan muslimin karena mereka benteng pertahanan umat dan negara.
Namun, seiring waktu dengan lahirnya konsep negara, para pasukan keamanan ini digaji oleh negara, sehingga, pemahaman fi sabilillah pun berkembang, yaitu siapa saja yang masuk dalam kategori berjuang di jalan Allah, di jalan kebaikan.
Kategori fi sabilillah itu sekarang termasuk para pelajar dan mahasiswa, jadi dana zakat bisa diberikan kepada mereka untuk menopang biaya studi hingga selesai, karena menuntut ilmu dalam Islam tergolong jihad fi sabilillah” imbuhnya.
Selain memaparkan tentang zakat, Prof. Dasuki juga menyinggung tentang wakaf. Menurutnya, zakat dan wakaf seperti layaknya seekor burung yang memiliki dua sayap agar bisa terbang. Jika hanya gerakan zakat saja masih belum lengkap, maka perlu ada gerakan wakaf kepada umat.
Namun, lembaga zakat dan lembaga wakaf keduanya harus terpisah, baik secara kelembagaan, menejemen, prosedur, hingga penghimpunan dan penyalurannya.
Dasar pijakan wakaf diantaranya yang paling penting adalah dari Hadis Nabi Muhammad Saw: “Jika manusia mati, maka terputuslah segala amal perbuatannya kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang mendoakannya.”
Yang dimaksud sedekah jariyah dalam hadis di atas adalah wakaf, bukan sedekah dalam arti umum lainnya.
Menurut Prof. Dasuki, zakat disebut juga sedekah, yaitu sedekah wajib. Zakat fitrah juga bagian dari sedekah, yaitu sedekah makanan pokok. Bahkan, ada sedekah yang bersifat sunnah atau anjuran, yaitu misalnya saat kita berjalan lalu menemui seorang fakir lalu kita memberinya makan atau uang, itu sedekah juga namanya.
“Tapi, semua itu bukan makna yang dimaksud dari ‘sedekah jariyah’ yang disebut Nabi dalam Hadisnya itu. Sedekah jariyah itu maknanya adalah wakaf, ini kesepakatan para ulama dari masa ke masa,” beber dia.
Wakaf adalah menahan pokoknya dan mengalirkan manfaatnya. Seseorang yang berwakaf tanah, maka tanah itu ditahan pokoknya, tidak boleh hilang, dijual, atau diwariskan, namun tanah itu bisa ditanami tanaman produktif yang hasilnya disalurkan untuk kepentingan sosial, atau di atas tanah itu dibangun masjid, sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit dan lain sebagainya
Ada pula wakaf melalui uang. Seseorang mewakafkan sejumlah uangnya, lalu uang itu digunakan untuk mewujudkan tanah atau bangunan. Dan ada pula wakaf produktif, yaitu wakaf yang diinvestasikan pada sektor yang produktif supaya terus tumbuh dan berkembang yang hasilnya dapat terus mengalir dan dimanfaatkan untuk kepentingan sosial.
Selain itu, menurut Prof. Dasuki, dalam literatur fiqh wakaf kontemporer ada jenis-jenis wakaf baru. Misalnya, wakaf manfaat dan wakaf profesi.
“Misalnya, seseorang punya rumah dua, lalu yang satu diwakafkan untuk dipakai mahasiswa secara gratis dalam masa dua tahun, itu artinya yang diwakafkan adalah nilai manfaat dari rumah itu. Misal lain, orang punya mobil lebih, lalu diwakafkan selama masa tertentu kepada lembaga atau perorangan untuk digunakan dalam dakwah dan keperluan sosial, maka itu juga namanya wakaf manfaat,” tegas dia.
Lebih lanjut, Prof. Dasuki pun menjelaskan tentang wakaf profesi. Misalnya, seorang dokter yang mewakafkan profesinya dua jam dalam seminggu di sebuah klinik untuk melayani para pasien dari kaum dhuafa secara gratis. Demikian pula dapat dilakukan oleh profesi lain: insinyur, arsitek, legal, konsultan, dosen, dan lain sebagainya. [SR]