Buya Hamka dan Tafsir Al-Azhar (3)

Oleh:
Rakhmad Zailani Kiki
Peneliti Islam di Betawi dan Jakarta, Redaktur Mediaislam.id
SEMASA hidup, Buya Hamka menghasilkan tak kurang dari 94 karya buku dengan beragam tema. Mulai dari sastra, agama, sejarah dan filsafat. Di antaranya Lembaga Hidup, Falsafah Hidup, Tasawuf Modern, Merantau ke Deli, Di Bawah Lindungan Ka’bah, dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck . Masyarakat mengenal Buya Hamka sebagai seorang sastrawan dan ulama terkemuka di Nusantara.
Dalam bidang tafsir, Buya Hamka menulis Tafsir Al-Azhar. Kitab tafsir ini dirampungkan penulisannya dalam masa dua tahun selama menjalani tahanan di masa Orde Lama.
Latar Belakang
Nama Al-Azhar diambil dari nama masjid tempat kuliah-kuliah tafsir yang disampaikan oleh Buya Hamka sendiri, yakni masjid Al-Azhar, Kebayoran Baru. Nama masjid Al-Azhar sendiri adalah pemberian dari Syaikh Mahmoud Syaltout, syaikh (rektor) universitas Al-Azhar, yang pada bulan Desember 1960 datang ke Indonesia sebagai tamu agung dan mengadakan lawatan ke masjid tersebut yang waktu itu namanya masih Masjid Agung Kebayoran Baru. Pengajian tafsir setelah shalat shubuh di Masjid Al-Azhar telah terdengar di mana-mana, terutama sejak terbitnya majalah Gema Islam. Majalah ini selalu memuat kuliah tafsir ba’da shubuh tersebut. Hamka langsung memberi nama kajian tafsir yang dimuat di majalah itu dengan tafsir Al-Azhar, sebab tafsir itu sebelum dimuat di majalah digelar di dalam masjid Agung Al-Azhar.
Dalam Kata Pengantar Tafsir Al Azhar cetakan I, penerbit Pustaka Panjimas tahun 1982, Buya Hamka menyebut beberapa nama yang ia anggap berjasa bagi dirinya dalam pengembaraan dan pengembangan keilmuan keislaman yang ia jalani. Nama-nama yang disebutnya itu boleh jadi merupakan orang-orang pemberi motivasi untuk segala karya cipta dan dedikasinya terhadap pengembangan dan penyebarluasan ilmu-ilmu keislaman, tidak terkecuali karya tafsirnya. Nama- nama tersebut selain disebut Hamka sebagai orang-orang tua dan saudara-saudaranya, juga disebutnya sebagai guru-gurunya. Nama-nama itu antara lain, ayahnya sendiri, Doktor Syaikh Abdulkarim Amrullah, Syaikh Muhammad Amrullah (kakek), Ahmad Rasyid Sutan Mansur (kakak iparnya). Di bawah pendahuluan Hamka menyitir beberapa patokan dan persyaratan yang mesti dimiliki oleh seseorang yang akan memasuki gelanggang tafsir. Hamka menulis bahwa syarat-syarat itu memang berat dan patut. Kalau tidak ada syarat demikian tentu segala orang dapat berani saja menafsirkan al-qur’an. Ilmu-ilmu yang dijadikan syarat oleh ulama-ulama itu alhamdulillah telah penulis ketahui ala kadarnya, tetapi penulis tidaklah mengakui bahwa penulis sudah sangat alim dalam segala itu, maka kalau menurut syarat yang dikemukakan ulama tentang ilmu-ilmu itu, wajiblah ilmu sangat dalam benar lebih dahulu, tidaklah akan jadi ‘tafsir’ ini dilaksanakan. Jangankan bahasa arab dengan segala nahwu dan sharaf-nya, sedangkan bahasa indoensia sendiri, tempat al-qur’an ini akan diterjemah dan ditafsirkan tidaklah penulis tafsir ini termasuk ahli yang sangat terkemuka. Intinya, dalam sub ini Hamka sadar betul akan pentingnya pemenuhan syarat-syarat tafsir bagi orang yang hendak menafsir. Hanya saja, patokan-patokan yang berat itu tidak harus menjadi kendala dan penghalang bagi lahirnya karya-karya baru tafsir, terutama bagi ia yang sudah memiliki standar minimal dalam pemenuhan syarat-syarat tersebut.
Corak Tafsir
“Tiap-tiap tafsir al-qur’an memberikan corak haluan daripada peribadi penafsirnya,” demikian Hamka mengawali paparannya tentang haluan tafsir. Dalam tafsir al-azhar-nya, Hamka, seperti diakuinya, memelihara sebaik mungkin hubungan antara naqal dan‘aql’; antara riwâyah dan dirâyah. Hamka menjanjikan bahwa ia tidak hanya semata-mata mengutip atau menukil pendapat yang telah terdahulu, tetapi mempergunakan juga tinjauan dan pengalaman pribadi. Pada saat yang sama, tidak pula melulu menuruti pertimbangan akal seraya melalaikan apa yang dinukil dari penafsir terdahulu. Suatu tafsir yang hanya mengekor riwayat atau naqal dari ulama terdahulu, berarti hanya suatu textbook thinking belaka. Sebaliknya, kalau hanya memperturutkan akal sendiri, besar bahayanya akan terpesona keluar dari garis tertentu yang digariskan agama melantur ke mana-mana, sehingga dengan tidak disadari boleh jadi menjauh dari maksud agama.
Masih dalam kerangka “haluan tafsir”, Buya Hamka mengabarkan bahwa Tafsir Al-Azhar ditulis dalam suasana baru, di negara yang penduduk muslimnya adalah mayoritas, sedang mereka haus akan bimbingan agama haus akan pengetahuan tentang rahasia al-qur’an, maka perselisihan-perselisihan mazhab dihindari dalam tafsirnya. Dan Hamka sendiri, sebagai penulis tafsir, mengakui bahwa ia tidaklah ta’ashshub kepada satu paham, “melainkan sedaya upaya mendekati maksud ayat, menguraikan makna dan lafaz bahasa arab ke dalam bahasa indonesia dan memberi kesempatan orang buat berpikir.”
Selain tafsir Al-Manâr, tafsir Al-Marâghî, Al-Qâsimî dan Fî Zhilâl Al-Qur’ân juga termasuk tafsir-tafsir yang Hamka ‘saluti’. Tafsir yang disebut terakhir misalnya, ia nilai sebagai “satu tafsir yang munasabah buat zaman ini. Meskipun dalam hal riwâyah ia belum (tidak) mengatasi al-manâr, namun dalam dirâyah ia telah mencocoki pikiran setelah perang dunia II.” Secara jujur Hamka mengatakan bahwa tafsir karya Sayyid Quthub itu banyak mempengaruhinya dalam menulis tafsir al-Azhar.
Di sisi lain, ia juga, seperti diakuinya, banyak diwarnai (diberi corak) oleh tafsir ‘modern’ yang telah ada sebelumnya, seperti Al-Manâr dan Fî Zhilâl Al-Qur’ân. Selama ini, dua tafsir tersebut dikenal bercorak adabi-ijtimâ`î, dalam makna selalu mengaitkan pembahasan tafsir dengan persoalan-persoalan riil umat islam. Warna- warna tafsir itu mempengaruhi tafsir al-azhar yang penulisnya jelas-jelas menyatakan kekaguman dan keterpengaruhannya. Dengan begitu, dapat dengan dapat dikatakan bahwa corak tafsir Al-Azhar bercorak adabi-ijtimâ`î, dengan setting sosial kemasyarakatan keindonesiaan sebagai objek sasarannya.
Metode Tafsir Al-Azhar
Manhaj yang ditempuh Tafsir Al-Azhar adalah tahlili. Dalam arti menafsir ayat demi ayat sesuai urutannya dalam mushhaf serta menganalisis begitu rupa hal-hal penting yang terkait langsung dengan ayat, baik dari segi makna atau aspek-aspek lain yang dapat memperkaya wawasan pembaca tafsirnya. Ketika membahas ayat pertama surat al-baqarah, yang berupa huruf-huruf yakni alif lâm mîm, misalnya, ia katakan bahwa dalam al-qur’an kita akan menemukan beberapa surat yang dimulai dengan huruf-huruf seperti: kâf hâ yâ ‘aîn shâd, alif lâm mîm râ, thâ hâ dan semacamnya. Pandangan para mufasir tentang huruf-huruf pembuka surat (fawâtih al- suwar) seperti itu, kata Hamka, terbagi kepada dua golongan. Pertama, mereka yang memberikan arti sendiri bagi huruf-huruf tersebut. Yang banyak memberikan arti bagi huruf-huruf itu adalah sahabat-mufasir yang terkenal yakni ‘abdullah bin ‘abbas. Alif lam mim, menurut ibnu ‘abbas, merupakan isyarat bagi tiga nama; alif untuk nama allah; lamuntuk nama jibril, dan mim untuk nama nabi muhammad saw. Demikian halnya huruf-huruf pembuka surat lainnya, menurut ibnu ‘abbas ada maknanya sendiri. Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa huruf-huruf di pangkal surat itu adalah rahasia allah, termasuk ayat mutasyabihat yang kita baca dan percayai saja. Tuhanlah yang lebih tahu akan artinya.
Dalam sub haluan tafsir, Buya Hamka mengemukakan ketertarikan hatinya terhadap beberapa karya tafsir, di antaranya tafsir al-manar. Tafsir ini menurutnya sebuah tafsir yang sanggup menguraikan ilmu- ilmu keagamaan sebangsa hadis, fikih, sejarah dan lainnya lalu menyesuaikannya dengan perkembangan politik dan kemasyarakatan yang sesuai dengan zaman di waktu tafsir itu ditulis. Tafsir yang demikian dinilai oleh para ahli sebagai tafsir bercorak adabi-ijtima’î (sosial-kemasyarakatan). Maka dapatlah diasumsikan bahwa sedikit banyak Tafsir Al-Azhar mewarisi corak tersebut. Contoh konkret untuk corak ini adalah ketika mufasir al-azhar membincang wacana iman. Menurutnya, pengakuan iman perlu pembuktian dalam tataran sosial-praktis, misalnya dengan memperbanyak derma, sedekah, suka menolong sesama dan amal-amal sosial lainnya.
Tafsir Al-Azhar adalah salah satu tafsir buah tangan salah satu putra terbaik bumi pertiwi. Mufasirnya, Prof. Dr Hamka, telah membuktikan betapa seorang muslim non-arab pun mampu menghasilkan sebuah karya tafsir yang cukup membanggakan, sekurangnya bagi kaum cerdik-cendekia muslim indonesia.* Habis.