Begini Cara Kelola SDA Menurut Islam

 Begini Cara Kelola SDA Menurut Islam

CIVILITA.COM – Sumber daya alam (SDA) adalah segala sesuatu yang berasal dari alam yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia.

Pengelolaan SDA tergantung pada jenis pemilikannya. Ada tiga jenis pemilikan yang dikenal dalam syariat Islam, yaitu pemilikan pribadi, pemilikan negara, dan pemilikan umum.

Pemilikan pribadi merupakan pemilikan yang dapat dimiliki secara individual seperti tanah, properti pribadi, kendaraan, sawah, dll. Pemilikan negara merupakan pemilikan pribadi yang merupakan aset negara, seperti gedung-gedung kantor pemerintahan, kendaraan inventaris, tanah yang dikuasai negara, dll. Sedangkan, pemilikan umum merupakan pemilikan yang merupakan milik semua rakyat, bukan milik pribadi dan bukan pula milik negara. Semua bentuk pemilikan umum tidak boleh dikuasai secara individual, baik perorangan ataupun perusahaan. Pengelolaan pemilikan umum diwakilkan kepada negara yang hasilnya dikembalikan kepada rakyat sebagai pemiliknya.

Rasulullah Saw bersabda, ”Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api. Harga (men-jual-belikannya) adalah haram”. (HR Abu Dawud).

Berdasarkan hal ini, air (laut, sungai, danau, tanah, dll), padang rumput (hutan), dan api (bahan bakar minyak, batu bara, gas, listrik, dan sumber energi lainnya) merupakan milik bersama. Karenanya, termasuk dalam pemilikan umum. Kata ‘berserikat (syuroka)’ menunjukkan tidak boleh dikuasai secara pribadi, tidak boleh diprivatisasi.

Imam at-Tirmidzi dari Abyadh bin Hamal meriwayatkan Abyadh pernah meminta kepada Rasul untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasul meluluskan permintaan itu, tetapi segera diingatkan oleh seorang sahabat, “Wahai Rasulullah, tahukah Anda, apa yang Anda berikan kepadanya? Sesungguhnya Anda telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (ma’u al-‘iddu).” Rasulullah pun kemudian bersabda, “Tariklah tambang tersebut darinya.”Tentu saja hadits itu tidak sedang berbicara tambang garam semata, melainkan sedang bicara segala sesuatu yang melimpah ‘bagaikan air mengalir’. Buktinya, Rasulullah awalnya memberikannya tapi setelah dijelaskan jumlahnya bagaikan air beliau membatalkannya. Penarikan kembali pemberian Rasul kepada Abyadh adalah ‘illat dari larangan atas sesuatu yang menjadi milik umum –termasuk dalam hal ini barang tambang yang kandungan-nya sangat banyak– untuk dimiliki individu. Dalam hadis yang dituturkan dari Amr bin Qais lebih jelas lagi disebutkan bahwa yang dimaksud dengan garam di sini adalah tambang garam (ma’dan al-milh).

Menurut konsep kepemilikan dalam sistem ekonomi Islam, tambang yang jumlahnya sangat besar, baik yang tampak sehingga bisa didapat tanpa harus bersusah payah –seperti garam, batu-bara, pasir laut, dan sebagainya– ataupun tambang yang berada di dalam perut bumi yang tidak bisa diperoleh kecuali dengan usaha keras –seperti tambang emas, perak, besi, tembaga, timah dan seje-nisnya– baik berbentuk padat semisal kristal ataupun berbentuk cair, semisal minyak, termasuk milik umum. Artinya semuanya adalah tambang yang termasuk dalam pengertian hadis di atas.

Pengelolaan SDA Cara Islam

Hakikatnya, alam semesta adalah milik Allah Swt yang diamanahkan kepada manusia untuk mengelolanya. SDA yang merupakan milik umum harus dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat sebagai pemiliknya. Serdasarkan hal ini, ada beberapa prinsip dalam pengelolaan SDA.

Pertama, SDA milik umum merupakan milik bersama dan untuk bersama. Karenanya, tidak boleh dikuasai oleh individu atau kelompok. Paradigma pengelolaan SDA milik umum yang berbasis swasta diubah menjadi pengelolaan kepemilikan umum oleh negara dengan tetap berorientasi kelestarian sumber daya. Barang-barang seperti minyak, gas, emas, nikel, laut, air, hutan, dll semuanya harus dalam manajemen negara. Tidak boleh diprivatisasi. Tidak dibenarkan laut, hutan, pantai,dan milik umum lainnya dikapling-kapling untuk perusahaan swasta. Perusahaan swasta boleh disertakan sebagai kontraktor, misalnya, atau kerja-sama namun tetap penguasaan dan kebijakan ada pada perusahaan negara.

Kedua, hasil hutan dan barang tambang serta milik umum lainnya harus dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk barang yang murah atau subsidi untuk kebutuhan primer (sandang, papan dan pangan) serta kebutuhan pendidikan, kesehatan dan fasilitas umum. Pendapatan dari pengelolaan SDA milik umum ini masuk ke dalam pos pendapatan negara yang dikembalikan pada rakyat. Bila harta milik umum tidak dikembalikan kepada rakyat, ini merupakan pengkhianatan, sebab berarti merampas harta dari pemiliknya yang sah.

Ketiga, dalam pengelolaan, eksplorasi dan eksploitasi SDA harus memperhatikan kelestarian alam dan lingkungan serta keberlanjutan pembangunan. Pengelolaan SDA, baik yang dapat diperbarui maupun yang tidak dapat diperbarui, harus memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dan sosial budaya masyarakat, untuk mencapai efisiensi secara ekonomis dan ekologis (ekoefisiensi) dengan menerapkan teknologi dan cara yang ramah lingkungan.

Pemanfaatan SDA

Dengan memahami ketentuan syariat Islam terhadap status sumber daya alam dan bagaimana sistem pengelolaannya bisa didapat dua keuntungan sekaligus, yakni didapatnya sumber pemasukan bagi anggaran belanja negara yang cukup besar untuk mencukupi berbagai kebutuhan negara dan dengan demikian diharapkan mampu melepaskan diri dari ketergantungan terhadap utang luar negeri bagi pembiayaan pembangunan negara.

Pemasukan negara antara lain diperoleh dari sektor kepemilikan individu, seperti melalui zakat, infak dan sedekah. Selain itu, diperoleh dari sektor kepemilikan negara seperti fai’, ghanimah, kharaj, rikaz, 10% tanah usyriyah, jizyah, waris yang tidak ada ahli warisnya, dan lain-lain.

Pemasukan lainnya dari sektor kepemilikan umum. Tercakup dalam sektor ini semua hasil SDA milik umum berupa barang tambang, minyak, gas, listrik, hasil hutan, pasir laut, dan lain-lain.

Pemasukan sektor pemilikan umum digunakan untuk: (1) biaya eksplorasi dan eksploitasi SDA, mulai dari biaya tenaga kerja, infrastruktur, dan hal-hal terkait; (2) Membagikan hasilnya secara langsung kepada masyarakat yang memang sebagai pemilik SDA tersebut. Kepala negara boleh membagikannya dalam bentuk benda yang memang diperlukan seperti air, gas, minyak, dan listrik secara gratis; atau dalam bentuk uang hasil penjualan untuk meningkatkan usaha kecil dan menengah. (3) Membangun kepentingan umum seperti jalan, taman, dll. (4) Sebagian hasil kepemilikan umum ini dapat dialokasikan untuk biaya dakwah dan jihad, gaji pegawai negeri, tentara, dan sebagainya. [MSR/SI]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *