Akibat Sulit Air, Minum Pil Anti-Haid dan Botakin Kepala
PERANG di Palestina masih berlanjut hingga kini. Jangan kendurkan keingintahuan tentang nasib saudara kita di sana. Laporan pada 27 Mei 2024, telah jatuh korban syahid 36 ribu jiwa dan luka parah mencapai 81 ribu orang. Dalam sehari, pembantaian bukan hanya terjadi sekali, tapi bisa sampai belasan kali. Sehingga dalam satu keluarga besar bisa kehilangan puluhan anggota keluarga. Bahkan di Gaza sudah terhapus 132 silsilah (marga) keluarga.
Gaza luasnya separuh dari Jakarta. Dibombardir sedemikian rupa selama sembilan bulan lebih. Hingga hari ini kita saksikan genosida (penghancuran tubuh) berlangsung terus di sana, dan menjadi update berita sehari-hari. Ada yang kepalanya sudah putus, ada anak yang memunguti tubuh ibunya yang sudah hancur, dikumpulkan walau hanya dikafani dgn kain putih kecil. Demikian juga sebaliknya, seorang ibu yang memunguti sisa potongan tubuh anaknya.
Sisa pertahanan umat, hanya tinggal di Gaza. Target zionis Israel adalah untuk menghacurkan Masjidil Aqsa. Tanah sudah mereka ambil, mesjid sudah 70 tahun lebih mereka nodai. Bila warga Gaza mengibarkan bendera putih dan tidak kuat lagi dengan penyiksaan sedemikian rupa, maka zionis akan mudah menghancurkan Masjidil Aqsa. Bila ini terjadi, maka fardhu kifayah penjagaan Masjidil Aqsa akan batal. Kita semua umat muslim seluruh dunia akan dibebani kewajiban menjaga Masjidil Aqsa. Bayangkan mahalnya biaya karena jaraknya yang jauh dengan resiko menghadapi baku tembak pula.
Maka kita harus menguatkan saudara-saudara kita di Palestina. Kita titipkan posisi kita kepada warga Gaza dan jangan sampai mereka mengeluh. Hancurnya Gaza adalah hancurnya Palestina secara keseluruhan.
Kita tahu Masjidil Aqsa itu masjidnya umat Islam. Allahnya sama, nabinya sama, Qur’annya sama. Sehingga kalau masih ada yang berpendapat untuk apa membantu Palestina, sementara kita masih banyak yang susah, itu berarti belum paham, bahwa membebaskan Palestina adalah bagian dari akidah.
Warga Palestina mengatakan, “Kami tidak membutuhkan air mata kalian, seharusnya air mata kalian itu untuk diri kalian sendiri, yang belum juga bergerak untuk membantu kami. Yang perlu ditangisi itu diri kalian sendiri.”
Semua kita akan diminta pertanggungjawaban. Allah akan tanya kita semua. Minimal kirimkanlah doa dan recehan yang bisa diberikan kepada saudara-saudara kita. Karena bukan hanya Al Aqsa, negeri Syam yang Allah janjikan sebagai tanggul kekuatan umat dan menjadi pusat kekuatan umat, kini yang tersisa hanya Palestina. Yordania sudah bekerjasama dengan Israel, Lebanon dan Suriah sudah sibuk dengan tanah airnya sendiri.
Membantu Gaza sama dengan membantu mengembalikan kekokohan bumi Syam. Ada 20 dalil berupa ayat dan hadist yang menyatakan kita wajib untuk ambil bagian membebaskan Masjidil Aqsa.
Hanya saja kita ini istilahnya ‘anget-angetan’. Kalau ada peristiwa bombastis, semua bergerak ingin ikut berperan. Begitu mulai terbiasa mendengar kabar Palestina, sekarang mulai lemah lagi semangatnya. Isu boikot kini menelurkan banyak argumen, seperti mau kerja di mana, penghasilannya dari situ saja (enggan berpindah kerja dari produsen produk yang berasimilasi dengan zionis).
Israel didukung oleh berbagai macam kekuatan. Kekuatan politik dan kekuatan dana. Bertahun-tahun kita selama ini mengkonsumsi produk yang hasil bisnisnya untuk membantai dan menghancurkan Masjidil Aqsa. Jadi jika zioinis membantai setiap hari, mestinya kita juga tidak perlu istirahat, sebagaimana tidak istirahatnya saudara-saudara kita di Gaza sana.
Ada kisah ketika seorang ibu perlu mendapatkan susu dan dia harus keluar rumah. Ketika kembali, anak dan seluruh keluarganya sudah syahid semua. Aturan internasional menyerang sipil saja sudah salah, ini malah sampai mematikan.
Kehancuran rumah, sekolah, mesjid, dan rumah sakit membuat kita menangis. Dulu semuanya masih utuh, sekarang sudah rata dengan tanah. Sudah berbulan-bulan anak-anak tidak sekolah. Mereka tidak memiliki rumah lagi, tidak ada pakaian, tidak ada makanan dan tinggal di tenda-tenda. Satu tenda ditempati beramai-ramai.
Coba bayangkan, dalam satu tenda semua berkumpul. Ada yang sakit, ada yang mau melahirkan. Yang sudah diperkirakan akan melahirkan dengan caesar, tidak ada obat bius. Mereka melahirkan tanpa obat bius di tenda.
Ketika berkesempatan bertemu dengan orang-orang yang sedang berobat ke Istanbul, ada kisah seorang ibu yang sejak dibombardir tidak pernah berganti pakaian, tidak pernah mandi dan tidak pernah lepas kerudung selama satu bulan. Setelah sampai di Istanbul, untuk pertama kalinya dia membuka kerudung dan mengganti bajunya. Ikatan rambutnya langsung terlepas dari kepala. Ia mengatakan, banyak perempuan di tenda, sengaja membotaki kepala dan minum pil anti haid karena pembalut tak tersedia, air tidak ada.
Bantuan yang mau masuk dihalangi, tujuannya hanya satu, supaya warga menyalahi para pejuang dan mereka menyerah. Sudah ada ‘woro-woro’nya. “Ayo kasihanilah anak-anak dan ibu-ibu Gaza. Kami siap menampung.”
Itu adalah seruan komplotan Israel dan sekutunya. Sekali saja satu warga keluar dari Palestina, selamanya tidak akan kembali lagi. Tapi apa yang dijawab oleh warga di sana? “Kami lahir di Gaza, dan akan syahid di Gaza!”
Apa yang dilakukan saudara-saudara kita di Gaza, fisiknya itu mewakili fisik kita. Hancurnya rumah mereka adalah hancurnya rumah kita. Terhinanya harga diri mereka adalah terhinanya harga diri 1,5 miliar umat Islam di seluruh dunia.
Bayangkan lampu mati saja 24 jam kita sudah tidak tahan, air nggak ada kita sudah tidak tahan. Ini sudah sembilan bulan lebih Palestina merasakannya. Bagaimana mereka bisa menjadi orang-orang yang teguh? Kehilangan keluarga, kelaparan dan kehausan.
Di saat yang lain, seorang ibu dikeluarkan dari puing-puing dengan tangan menggenggam secarik tulisan : Ya Allah, ambillah sebagian darah-darah kami, asal Engkau ridho. Di tengah puing lainnya, ditemukan tulisan : Israel mempunyai Amerika, Inggris, rudal dan pesawat terbang. Dan kami hanya mempunyai Allah yang menjaga kami.
Seorang wartawan yang anak, istri, dan dua cucunya syahid, ketika diwawancarai oleh Al Jazirah, jawabannya atas pertanyaan apa rahasia umat hingga bisa bertahan dari segala kesulitan dan penderitaan adalah ridho dan menyerahkan segala urusan hanya kepada Allah.
Perempuan-perempuan Palestina yang penuh semangat, dalam satu waktu melakukan tiga hal. Bersegera menyembuhkan lukanya sendiri, mengurus anak-anaknya yang syahid, dan berfardu kifayah bersama-sama mengurus yang lain.
Kisah lainnya dari seorang ibu yang akan melahirkan, menuju ke rumah sakit dalam keadaan gelap. Gerakan mobil yang dinaiki berbarengan dengan dentuman bom. Rasa tegang menghadapi tengah malam di tengah bunyi bom lebih menyakitkan daripada sakitnya nyeri karena kontraksi. Sesampai di rumah sakit, semuanya sudah hancur, padahal dia harus dicaesar. Akhirnya ia dioperasi tanpa dibius karena hanya ada gunting dan kain kasa serta sedikit cahaya dari lampu _handphone_. Si ibu sudah pingsan karena menahan sakit yang luar biasa, namun Allah mentakdirkan ia selamat agar bisa menyampaikan kisahnya kepada dunia.
Seorang anak yang menuntun adiknya untuk mengucapkan kalimat syahadat padahal si adik sudah berdarah-darah, sudah bisa dipastikan akan mati syahid, tapi tetap dituntun untuk mengucapkan kalimat syahadat di akhir hidupnya oleh sang kakak. Anak lainnya terluka parah menganga, harus segera dioperasi. Maka caranya untuk mengurangi rasa sakit ketika dioperasi, adalah dengan mengulangi hafalan Qur’annya.
Dokter juga sudah melampaui batas kemampuannya. Bayangkan, di sela-sela ia harus mengobati banyak pasien, ia mendapat kabar, anak dan istrinya sudah syahid. Sang dokter hanya bisa masuk ke ruang jenazah, memastikan kesyahidan keluarganya, lalu lanjut nenyelamatkan yang masih hidup.
Walau negara-negara Arab ikut membantu Israel dan situasi di Gaza seperti akan kiamat, mereka antri untuk mati syahid atau terluka parah. Ketika menemukan potongan kertas bertuliskan ayat Qur’an di tengah reruntuhan, memberikan mereka semangat lagi. Tetap berusaha tenang walaupun dunia diam dan tidak memiliki rasa kemanusiaan. Yakin ada Allah, ada malaikatNya.
Bumi Gaza adalah negeri para anbiya, negeri orang-orang soleh. Pamannya nabi dikubur di Gaza, Imam Syafi’i dikubur di Gaza. Jangan katakan bahwa orang-orang itu mati, sesungguhnya mereka hidup tetapi kita tidak menyadari.
Keteguhan Gaza adalah keteguhan yang digambarkan oleh Khalid bin Walid saat rasulullah mengatakan, “Aku datangkan kepadamu satu kaum yang mencintai kematian sebagaimana kamu mencintai kehidupan.” Penduduk Palestina sudah tahu bagaimana istimewanya kedudukan mati syahid itu. Yang mati syahid tidak akan mendapat siksa kubur, tidak merasakan sakit sakratul maut yang bagaikan 300 pecutan bagi orang yang meninggal biasa. Bahkan dia bisa membawa 70 orang keluarganya untuk masuk surga dan mendapatkan surga tertinggi. Ini mengajarkan bagaimana kita mendapatkan kematian dengan cara terhormat.
Lalu, siapa sajakah warga Gaza itu? Ahlul Quran! Mereka mewakili kita dan mereka dihancurkan. Bumi Gaza sudah di blokade hampir 17 tahun, listrik terbatas tapi menghasilkan penghafal Quran yang luar biasa. Rahasia keteguhan mereka adalah kedekatan dengan Al Qur’an.
Tiga bulan sebelum di bombardir, Gaza menghasilkan para penghafal Qur’an yang akan diwisuda. Ada program setahun sampai tiga tahun untuk menghafal. Sebelum diwisuda, mereka harus menyetor hafalan Qur’an dari sesudah subuh sampai menjelang Isya. 30 juz Al Qur’an dites dari awal sampai akhir. Banyak para ibu muda datang sambil membawa bayi. Bahkan ada bayi berusia 20 hari digendong sang ibu sambil menyetor hafalan. Kebiasaan mereka dekat dengan Al Qur’an memberikan keteguhan kepada mereka.
Dengan keteguhan tersebut, dunia bangkit membantu Palestina. Tidak sedikit _public figur_ yang menyatakan keislamannya. Karena mendapat informasi tentang keteguhan warga Palestina itu didapat dari Al Qur’an, mereka lalu berbondong-bondong membacanya. Setelah itu mereka masuk Islam termasuk orang Yahudi sendiri.
Palestina sudah menjadi sejarah dunia. “Kami sudah terbiasa dari tahun 2008 dibombardir, hanya kali ini dosisnya lebih besar. Pembantaian lebih sadis. Kalau kekuatan, kami akan selalu kuat,” ungkap warga Gaza.
Di akhirat nanti apa yang akan kita jawab? Di saat para penghafal Al Qur’an dikurung dan disiksa, tidak mendapatkan makan dan minum. Padahal mereka menjalankan tugas. Satu orang warga Gaza itu mewakili 340 orang umat Islam.
Kita juga bisa seperti warga Palestina, bila kita teguh dan sabar dengan ujian-ujian kehidupan. Bukan saja Allah akan dekat dengan kita, atau malaikat dekat dengan kita, namun keteguhan kita itu bisa menguatkan anak dan keluarga kita dalam urusan rumah tangga.
Bisa saja ujian kita terjadi ketika pasangan kita terpuruk, kesulitan ekonomi, atau ujian kesehatan. Ketika ada anggota keluarga yang sedang sakit, jangan mengeluh. Jadilah sebagai ibu garda terdepan selayaknya sebagaimana perempuan-perempuan di Gaza.
Yang syahid mereka sudah kelar urusannya. Sekarang kita berjuang menuju kesyahidan versi kita. Jangan mudah menyerah. Kita harus memantaskan diri agar Allah mematikan kita dalam keadaan syahid. “Sesungguhnya tentara Kami, itulah yang pasti menang.”
Kata nabi sebaik-baik sedekah adalah di saat kita susah. Palestina telah mengajarkan kita agar jangan banyak mengeluh dan jangan menjadikan gaya hidup sebagai tuhan. Mari belajar dari keteguhan Palestina. Perbanyak interaksi dengan Al Qur’an daripada dengan setan gepeng bernama handphone. Mari evaluasi diri!
(Ditulis oleh Emy D, dari kajian Persaudaraan Muslimah/Salimah DKI Jakarta, spesial Muharram 1446 H, dengan tema Keteguhan Dalam Menghadapi Cobaan, Inspirasi dari Anak dan Perempuan Negeri Para Nabi, bersama ustadzah Nurjannah Hulwani, S.Ag, M.E, ketua Koalisi Perempuan Indonesia Peduli Al Aqsa (KPIPA)