Yenny Wahid: Muhammadiyah-NU Dua Pilar Islam Moderat di Indonesia

 Yenny Wahid: Muhammadiyah-NU Dua Pilar Islam Moderat di Indonesia

Yenny Wahid

Malang (Mediaislam.id) – Pendiri Wahid Foundation, Yenny Wahid, mengungkapkan adanya titik persamaan atau ‘kalimatun sawa’’ yang menjadikan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama sebagai dua pilar besar dari Islam moderat yang ada di Indonesia.

Hal itu Yenny ungkapkan dalam Simposium Moderasi Beragama yang diselenggarakan oleh Pimpinan Cabang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (PC IMM) Malang Raya di Aula BAU, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Senin, 25 Agustus 2025.

“Islam berkemajuan yang digaungkan Muhammadiyah memandang bahwa Islam harus bisa maju seiring perkembangan zaman. Dan Islam Nusantara yang dibawa NU adalah Islam yang membumi, Islam yang menghargai budaya lokal. Kedua organisasi ini sama-sama moderat dan berpijak pada nilai prinsip kemanusiaan dan kebangsaan,” ucap Yenny di Malang, Senin (25/8/2025).

Putri Presiden keempat Republik Indonesia Gus Dur itu kemudian menceritakan salah satu kisah tentang toleransi di Indonesia, yakni asal muasal Soto Kerbau di Kudus. Dahulu, di daerah Kudus banyak ditinggali oleh umat beragama Hindu. Bagi umat Hindu, sapi adalah salah satu hewan yang dihormati.

“Sunan Kudus memerintahkan kepada murid-muridnya agar jangan menyembelih sapi sebagai bentuk penghormatan terhadap masyarakat yang beragama Hindu. Nah, karena murid-muridnya tetap ingin makan daging, akhirnya yang disembelih adalah kerbau. Itu adalah bentuk kongkrit penghormatan terhadap keyakinan umat lain,” jelas Yenny yang memiliki nama asli Zannuba Ariffah Chafsoh.

Ia menegaskan bahwa kisah soto kerbau adalah contoh semangat Islam Nusantara. Kita umat Islam tidak menafikan sejarah, tidak menafikan tradisi. Justru kita rangkul untuk menjadi bagian dari dakwah. Menurutnya, jika dulu cara dakwah tidak menggunakan seni, mungkin saat ini tidak banyak orang Indonesia yang masuk agama Islam. Karena seni digunakan sebagai medium dakwah, maka orang lain mudah untuk menerima.

“Kenapa penting untuk terus mengakar dengan akar budaya kita? Karena dengan dunia global, kalau kita tidak mengakar, kita bisa masuk dan menjadi korban, kita menyerap budaya yang bukan menjadi budaya kita. Kita ikut budaya orang lain karena kita sendiri tidak kuat, kita tidak tau, who we are?,” ujar Yenny yang juga menjabat sebagai Ketua Badan Pengembangan Inovasi Strategis (BPIS) PBNU itu.

Baginya, dengan memahami akar budaya kita akan memiliki kebanggaan. Sehingga ketika berhadapan dengan siapapun di belahan dunia manapun, kita tetap tegak dan tetap bangga menjadi orang Islam Indonesia.

Kemudian ia mengingatkan kembali bahwa NU dan Muhammadiyah pada tahun lalu menerima penghargaan dari Zayn Award. Penghargaan ini diberikan kepada organisasi atau individu yang dianggap membawa perubahan besar di dunia. Dalam sejarahnya Zayn Award diawali sebuah kesepakatan dari Paus Fransiskus dengan Grand Syeikh Al Azhar, Syeikh Ahmad Ath-Thayyib yang membuat kesepakatan kalimatun sawa’.

“Dua tokoh agama ini mencari titik temu antara Islam dan Kristen. Titik temunya dimana sih? Oh sama-sama harus diperintah untuk menghormati tetangga. Sama-sama diperintah tidak boleh membunuh orang yang tidak berdosa. Sama-sama diperintah untuk menghormati perempuan dan anak-anak. Titik-titik temu ini yang kemudian dibuat menjadi dokumen human fraternity,” jelas Yenny.

Yenny juga bercerita tentang seorang penulis besar dari Amerika Serikat diwawancara oleh Oprah Winfrey dan ditonton oleh ratusan juta orang di seluruh dunia. Dalam wawancaranya, penulis tersebut memberikan kesaksian bagaimana Islam di Indonesia.