Universitas Al-Azhar Mesir: Jilbab Wajib bagi Muslimah Baligh
Jakarta (MediaIslam.id) – Lembaga pendidikan tinggi Islam tertua di dunia, Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir, mengeluarkan pernyataan resmi terkait wajibnya berjilbab bagi setiap Muslimah yang baligh dan berakal.
Pernyataan ini merupakan bantahan terhadap sebagian kalangan yang menyebut jilbab sebagai budaya, atau tradisi yang tersebar di masa Nabi Muhammad Saw. Pendapat yang menyatakan demikian merupakan pendapat pribadi yang ditolak Al-Azhar. Pendapat yang menyatakan jilbab tidak wajib bertentangan dengan kesepakatan kaum Muslimin pada 15 abad yang lalu.
Al-Azhar juga menyampaikan, pendapat yang membantah wajibnya mengenakan jilbab merupakan pintu masuk yang melemahkan ketetapan agama dan menjauhi ketentuan syariat serta kesepakatan para ulama. Dalih kebebasan dalam memahami nash justru merusak pendekatan ilmiah.
Kontroversi tentang tidak wajibnya jilbab muncul setelah pernyataan yang disampaikan Guru Besar Ilmu Perbandingan Fiqih Universitas Al-Azhar, Dr Saad El-Din El-Hilali, mengenai jilbab. Dia berpandangan bahwa hukum yang berkaitan dengan aurat adalah hukum adat.
“Hukum perihal aurat adalah hukum adat. Dan hukum adat ini diakhiri oleh para ulama fiqih dengan menyatakan bahwa menutup aurat adalah wajib. Lantas apakah jilbab itu wajib? Frasa wajib menutup aurat jadi menyimpang maknanya karena berubah menjadi wajib berjilbab,” kata El-Hilali menyampaikan pandangannya.
Ketua Jurusan Fiqih Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Al-Azhar Kairo, Dr Abu Bakar Yahy, menjelaskan, perkara jilbab dan kewajiban untuk mengenakannya bagi Muslimah telah ditetapkan dalam Al-Qur’an, Sunnah, dan kesepakatan atau ijma ulama yang sifatnya sharih (jelas dan tidak mengandung makna lain).
Dia menjelaskan, ada tiga derajat atau tingkatan pada ijma ulama. Pertama adalah ijma sharih, ijma sukuti (hanya terdiri dari satu atau sebagian ulama), dan ijma mukhtalaf, yang di dalamnya masih terdapat perbedaan pandangan sehingga dibutuhkan pembahasan dan penelitian lebih lanjut.
“Jika yang dibahas adalah terkait ijma sukuti dan ijma mukhtalaf, tentu itu bisa dilakukan. Tetapi ini berbeda dengan ijma sharih, yang disampaikan langsung dari lisan para ulama dan tidak lagi menerima perbedaan pendapat,” jelasnya.
Abu Bakar Yahya juga menuturkan, perbedaan pendapat soal jilbab bagi perempuan hanya pada terlihatnya wajah, tangan dan kaki. Para ulama selalu berusaha untuk memfasilitasi dan mempertimbangkan kebutuhan zaman.
“Islam menjaga dan melindungi perempuan. Kesopanan seorang wanita, seperti yang telah disepakati para ulama, membawa kehormatan dan rasa hormat kepada sang perempuan,” jelas Abu Bakar Yahya.