Tafsir dan Ta’wil Isti’adzah

 Tafsir dan Ta’wil Isti’adzah

Ilustrasi

Di antara ilmu yang paling agung dalam ilmu-ilmu keislaman adalah Tafsir al-Qur’an. Catatan Tafsir Sabilu Rasyad wal Huda pada kali ini ialah tafsir ta’wudz atau isti’adzah.

Menurut Imam Mufassirin Abu Ja’far Muhammad Ibnu Jarir ath-Thabari, ia berkata al-Isti’adzah الاستعاذة artinya adalah memohon perlindungan atau al-Istijarah الاستجارة. Al-Isti’adzah atau a’udzubillah min asy-syaithan ar-rajim ialah:

( أعوذ بالله من الشيطان الرجيم ) أستجير بالله – دون غيره من سائر خلقه – من الشيطان أن يضرني في ديني ، أو يصدني عن حق يلزمني لربي

“’Audzubillah min asy-Syaithan ar-Rajim berarti “aku memohon perlindungan kepada Allah. bukan kepada yang selainNya, dari (godaan) segenap makhlukNya, yakni dari kalangan setan, agar tidak mencelakaiku dalam urusan agamaku, atau menghalangiku dari jalan kebenaran yang telah diwajibkan Rabbku.”

Akar kata ta’awudz ialah العوذ maknanya ialah berlindung kepada orang atau pihak lain, serta bergantung kepadanya, demikian menurut Imam ar-Raghib al-Asfahani dalam al-Mufradat fii Gharib al-Qur’an.

Makna ta’awudz sebelumnya terkadang suka dipakai oleh budaya pagan musyrik untuk mengungkap kata jimat dan mantra-mantra, salah satu aspek kesyirikan besarnya ialah hati dan jiwa menjadi selalu bergantung dengan jimat dan mantra itu. Allah menghilangkannya dengan kalimat ta’awudz dengan namaNya yang membekas di dalam jiwa. Penghancur semua jin setan, jimat dan mantra. Imam Ibnul Jauzi dalam Zadul Masir fii Ilmi Tafsir menyatakan “ Sesungguhnya Allah telah memerintahkan al-isti’adzah (berta’awudz) saat membaca al-Qur’an, Allah berfirman:

فَإِذَا قَرَأْتَ ٱلْقُرْءَانَ فَٱسْتَعِذْ بِٱللَّهِ مِنَ ٱلشَّيْطَٰنِ ٱلرَّجِيمِ

“Apabila kamu membaca Al Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.” (QS an-Nahl: 98). Maknanya ialah apabila hendak membaca al-Qur’an. Lalu makna a’udzu (isti’adzah, ta’wudz) itu ialah ألجأ وألوذ. “memohon pertolongan” dan “berlindung”.

بالله billah di sini i’rabnya ialah jar wa majrur yang berhubungan dengan أعوذ, bermakna bahwa huruf بseperti yang diterangkan Imam as-Suyuthi dalam al-Itqan fii Ulum al-Qur’an bahwa setidaknya ada 12 makna dari huruf ب, di sini yang paling mendekati adalah dua makna. Pertama, al-Isti’anah (meminta pertolongan, bantuan) yaitu suatu sarana dari suatu perbuatan, dengan meminta perlindungan atau pertolongan dengan hanya bantuan dan pertolongan Allah.

Kedua, bermakna ilshaq, yakni melekat pada sesuatu. Jika memohon pertolongan dan perlindungan sudah seharusnya sebagai orang-orang beriman, yang pertama dan paling utama ialah melekatkan permohonan, pertolongan dan perlindungan kepada Allah ta’ala, baik dalam hati, atau ucapan, atau pun dengan ‘amal shalih.

Ta’awudz kepada Allah (من الشيطان ) dari godaan setan. Setannya dalam arti kata luas, tidak melulu setan jin. Menurut Ibnu Jarir ath-Thabari, dalam bahasa Arab kata syaithon الشيطان mengacu kepada setiap pembangkang dari jin, setan, binatang melata, dan apa pun, oleh karena itulah Allah jalla tsana’uh berfirman:

[ سورة الأنعام : 112 ] وكذلك جعلنا لكل نبي عدوا شياطين الإنس والجن

“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu memiliki musuh, yaitu setan-setan dari kalangan manusia dan jin.” (QS al-An’am: 112)

Oleh karena itu setan ada dari kalangan manusia, sebagaimana ada setan dari kalangan jin. Umar bin Khaththab suatu kali pernah mengendarai seekor kuda yang membangkang dan banyak tingkahnya, Umar pun memukulnya, namun kuda tersebut tetap membangkang dan sulit dikendalikan. Di situlah Umar menyebut kudanya sebagai “setan”. Ungkapan beliau:

ما حملتموني إلا على شيطان! ما نزلت عنه حتى أنكرت نفسي

“Tidaklah kalian menaikanku kecuali kepada setan, tadinya aku tidak mau turun sampai jiwaku mengingkarinya,” hadits ini diriwayatkan ath-Thabari dari Yunus bin Abdul A’laa dari Anba’ana bin Wahhab, dari Hisyam bin Sa’ad dari Zaid bin Aslam, dari Umar bin Khaththab. Sedangkan الرجم arti mendasar secara bahasanya ialah melempar batu. Arti tersebut pun bergeser menjadi melemparkan kutukan. الشيطان الرجيم menurut Raghib al-Ashfahani dalam Mufradat fii Gharibil Qur’an bermakna setan yang terusir dari kebaikan dan dari tempat tertinggi (Surga).

Marilah kita Simak juga apa yang dituturkan Imam al-Qurthubi dalam Tafsir Jami’ li Ahkamil Qur’an, sepuluh poin pembahasan dari al-isti’adzah atau ta’awudz ini, yang kami sadur dengan meringkasnya dan tambahan dari kami.

Pertama, dalam ayat فَإِذَا قَرَأْتَ ٱلْقُرْءَانَ فَٱسْتَعِذْ بِٱللَّهِ مِنَ ٱلشَّيْطَٰنِ ٱلرَّجِيمِ

“Apabila kamu membaca Al Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.” (QS an-Nahl: 98),

Allah memerintahkan kita untuk minta perlindunganNya. Allah menempatkan masa lalu yakni fi’il madhi (kata kerja bentuk lampau) قَرَأْتَ , di masa mendatang yakni ketika Allah memerintahkan dengan fi’il amr (kata kerja bentuk perintah) فَٱسْتَعِذْ . Terdapat ungkapan yang didahulukan dan ungkapan yang dibelakangkan. Hujjahnya ialah kebiasaan bahasa, jika ada dua fi’il (kara kerja) berdekatan secara maknanya, dalam suatu ungkapan, maka salah satu dari dua fi’il tersebut boleh didahulukan, yang lain dibelakangkan, manapun yang engkau sukai dari dua fi’il tersebut.

Oleh karena itulah bisa-bisa saja dan tepat sesuai adat bahasa, bahwa apabila membaca al-Qur’an maka berta’awudz-lah. Boleh saja maknanya ta’awudz atau isti’adzah dulu, baru kemudian membaca al-Qur’an. Hal ini dibenarkan oleh Sunnah. Jadi bukan dengan begini, dikarenakan Allah memakai fi’il madhi “engkau telah membaca” baru kita berta’awudz, tidak demikian pemahamannya. Namun makna ungkapannya “Apabila engkau hendak membaca al-Qur’an maka berta’awudz-lah.” Demikian hujjah kami yang dibenarkan dengan sunnah.

Kedua, Menurut jumhur perintah berta’awudz hukumnya sunnah bukan wajib. Hanya saja tidak membacanya bukan termasuk bermaksiat kepada Allah, akan tetapi perbedaan pendapat ada pada membaca ta’awudz saat di dalam shalat. Sekelompok tabi’in, dan inilah pendapat terkuat menurut kami hukumnya wajib, bahkan setiap rakaat sebelum memulai al-Fatihah, ini pendapat Atha’ bin Abi Rabah, Ibnu Sirin dan Ibrahim an-Nakha’i.

Dengan alasan perintah Allah itu sifatnya umum, yaitu agar memohon perlindungan. Sedangkan Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah menyatakan dibacanya cukup pada rakaat pertama saja. Dengan alasan di dalam satu shalat dianggap satu bacaan. Imam Malik menyatakan tidak wajib, namun disarankan membacanya untuk ibadah di bulan Ramadhan.

Ketiga, Para ulama sepakat bahwa ta’awudz secara lafazhnya ialah bukan merupakan bagina al-Qur’an dan bukan ayat al-Qur’an. Namun itu diketahui dari sunnah secara lafazhnya, Adapun perintah berta’awudznya itu dari ayat 98 surat an-Nahl. Perumpamaannya ialah seperti ibadah-ibadah yang diperintahkan, tercantum di dalam al-Qur’an namun rincian pengerjaannya mesti merujuk ke Sunnah atau ke hadits-hadits Nabi ﷺ maupun atsar para sahabat.

Keempat, أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ atau أَعُوذُ بِاللَّهِ السَّمِيعِ الْعَلِيمِ مِنْ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ sama-sama diperbolehkan lafazhnya, juga lafazh-lafazh lain yang tertera dalam Sunnah.

Kelima, Al-Mahdawi menyebutkan kesepakatan para qari qiraat, baik qiraat sab’ah (qiraat 7) maupun ‘asyarah (qiraat 10) mengeraskan membaca ta’awudz ketika mulai membaca surat al-Fatihah, terkecuali Imam Hamzah. Fiqih permasalahan ini bukan tempatnya dalam kitab ini.

Keenam, Az-Zahrawi menuturkan, “Ayat itu (yang memerintahkan ta’awudz) diturunkan dalam shalat, dan disunnahkan untuk membacanya di luar shalat, bukan diwajibkan.” Ulama lainnya menyatakan bahwa ta’awudz diwajibkan hanya untuk Nabi, sedangkan kita hanya mengikuti beliau.

Ketujuh, Ada juga riwayat yang tidak disepakati ulama, bahkan cenderung tidak diakui yakni riwayat Abu Hurairah yang membaca ta’awudz setelah membaca surat al-Qur’an, namun riwayat ini mesti ditinjau ulang diriwayatkan oleh Daud. Mungkin Daud yang dimaksud oleh Imam al-Qurthubi dalam kitabnya tersebut ialah Daud azh-Zhahiri. Sampai-sampai Imam Ibnul Arabi, yakni Abu Bakar al-Arabi,[1] menyatakan “Kepayahan telah sampai puncaknya pada suatu kaum, hingga mereka menyatakan “Jika seorang pembaca al-Qur’an selesai membaca al-Qur’an, maka dia harus berta’awudz dari syaithan yang terkutuk.” Pendapat ini bertentangan dengan Sunnah yang populer dan kebiasaan turun-temurun dari para sahabat, tabi’in hingga ke generasi imam-imam (ulama) tersebut, yang membaca ta’awudz diawal, saat hendak mulai membaca al-Qur’an.

Kedelapan, Hadits keutamaan membaca istiadzah atau ta’awudz.

اِنّيْ َلاَعْلَمُ كَلِمَةً لَوْ قَالَهَا لَذَهَبَ عَنْهُ مَا يَجِدُ، لَوْ قَالَ: اَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ.

“Sesungguhnya aku mengetahui suatu kalimat seandainya ia mau mengucapkannya pastilah hilang marah itu darinya, seandainya ia mengucapkan: A’udzu billaahi min asy-syaithan ar-rajim (Aku berlindung kepada Allah dari godaan syetan yang terkutuk)” (HR al-Bukhari bab Adab, Mewaspadai Kemarahan 4/64).

Kesembilan, Makna isti’adzah seperti yang pernah diungkap Imam ath-Thabari, sepertinya Imam al-Qurthubi pun mengambil pendapat ini dari Tafsirnya Imam Thabari, dalam ungkapan bangsa Arab ialah minta perlindungan dan keberpihakan kepada sesuatu. Orang Arab biasa mengatakan hal-hal semacam jampi-jampi di masa jahiliyah, jika ada sesuatu yang tidak disenangi atau memudaratkannya. Allah menggantinya sesuai yang dikehendaki dan diridhaiNya.

Kesepuluh, Kata asy-syaithan adalah bentuk tunggal dari asy-syayaathini yang bentuk jamak taksir, huruf nun di kata “syaithan” adalah huruf aslinya. Makna mulanya adalah “jauh”, karena setan jauh dari kebaikan. Dinamakan demikian pun karena setan jauh dari kebenaran dan karena kesewenangannya. Oleh karena itulah setiap yang zhalim dan melampaui batas dinamakan sebagai setan, baik ia manusia, jin atau pun binatang melata.

Tafsir ta’awud atau isti’adzah ini hendaknya diketahui segenap Muslim, betapapun tidak secara mendalam, mengingat segenap hamba Allah yang beriman diperintahkan olehNya agar berlindung kepadaNya dari godaan setan. Pengamalan QS an-Nahl ayat 98.

[1] Bukan Ibnu Arabi yang penganut tasawuf falsafi. Imam Ibnul Arabi yang dimaksud adalah ahli fiqih, hadits dan Tarikh.

Ilham Martasya’bana
Peminat kajian tafsir al-Qur’an, Mujaz Sanad Tafsir Jami’ al-Bayan ath-Thabari, Tafsir Jami’ li Ahkamil Qur’an al-Qurthubi dan Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim Ibn Katsir

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *