Ta’aruf Everlasting Antar Suami-Istri
CIVILITA.COM – Dalam pergaulan kita akan bertemu dengan macam-macam karakter orang. Ada orang yang pendiam yang cenderung kurang suka dengan orang/teman yang banyak gayanya. Ada orang yang tidak suka humor, cenderung kurang simpatik dengan orang yang selera humornya tinggi, atau sebaliknya juga ada. Ada juga orang yang cenderung kalau ngobro sukanya menasehati, tapi orang seperti itu kadang bertemu juga dengan orang yang suka dinasehati. Ada orang yang baqa’ (self defensive)nya tinggi, kalau bertemu orang yang rendah hati, tidak begitu masalah. Tapi kalau bertemu sesamanya, kadang disitu ada masalah.
Ada orang yang berkarakater seperti Umar bin Khatab atau seperti Abu Bakar, sebetapapun syakhshiyah Islam telah membentuk mereka, tetapi hampir-hampir karakter itu tidak bisa hilang. Ada orang yang berkarakter seperti Asma binti Abu Bakar, seorang nisa yang ‘pemberani’, ‘tegas’ yang harusnya sifat itu built in pada laki-laki, meski tidak begitu masalah jika ada pada perempuan.
Nah, yuk ingatkan diri kita sendiri bahwa dalam proses hidup kita akan selalu ada proses ta’aruf, pun dalam pernikahan ada proses “ta’aruf everlasting”. Seberapapun pintarnya kita, kadang tidak mudah untuk memahami karakter orang, makanya ta’aruf everlasting antara suami-istri menjadi urgen dibicarakan.
Dia, pasangan kita (para istri) rela dipilih oleh kita, lalu hidup bersama kita yang kita telah meminta ‘hak asuh’ dari orang tua atau walinya. Maka ketika menikah proses ta’aruf yang everlasting (tak pernah berakhir) itu jangan diakhiri, malah harusnya saling bisa memahami dan memahamkan.
Bagi yang sedang menjalani proses khitbah, ini juga harus dipahami bahwa anda akan bertemu dengan orang yang bisa mungkin karakternya berbeda dengan anda. Apa yang harus anda lakukan? Karena ini baru proses khitbah, jikalau sudah anda pikir dan rasa anda kurang berkenan dengan karakternya, maka anda punya pilihan untuk berhenti dari proses khitbah. Tapi apakah boleh untuk lanjut? Boleh, asal anda bisa ‘memahami’ karakternya sekarang dan setelah anda menikah dengannya nanti.
Ingat, karakter itu tidak ada kaitannya langsung dengan kepribadian dan hukum syara’, hanya saja hukum syara’ bisa mengarahkan karakter. Contoh riilnya, Umar bin Khatab beliau berkarakter ‘keras’ (baca: tegas), tapi beliau adalah sosok khalifah yang hatinya mudah tersentuh, orang yang sangat tawadhu’. Pernah suatu malam, saat inspeksi karena tugasnya sebagai kepala negara (khalifah), beliau ‘menangis’ saat menyaksikan ada seorang ibu yang ternyata memasak batu demi mendiamkan tangis anaknya yang kelaparan. Dalam urusan rumah tangga juga, Umar bin Khatab seorang suami yang berhati lembut, bahkan dalam sebuah riwayat, Umar adalah sosok yang ‘penurut’ dengan istrinya.
Begitulah, karakter pasangan kita ataupun calon pasangan kita akan selalu kita pelajari dalam proses “ta’aruf everlasting”. Bagi yang sudah memahami karakter pasangannya, maka dia sebenarnya sedang belajar untuk sabar dan qona’ah, karena jika misalnya kita tak suka pada karakternya yang satu itu, mungkin ada ‘kelebihan’ pada sisi yang lain.
“….. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak” (QS. An-Nisa: 19). [lukyrouf]