Syarat-Syarat Pemimpin dalam Islam

 Syarat-Syarat Pemimpin dalam Islam

Ilustrasi: Shalat Iduladha 1443 H di JIS, Jakarta Utara.

Al-Fallah menolak sama sekali orang yang menerima kepemimpinan wanita dengan penolakan yang keras, karena kata “lan” (tidak akan) termasuk kata yang digunakan untuk penolakan secara tegas. Diketahui bersama bahwa Rasulullah Saw , bersabda seperti ini ketika beliau mendengar bahwa Birwan, anak perempuan Kisra memegang kepemimpinan setelah ayahnya meninggal dunia. Ini menunjukkan bahwa beliau sangat menolak dengan keras terhadap kepemimpinan wanita.

Ketiga: Baligh atau dewasa. Tidak sah seorang pemimpin yang belum baligh, karena Rasulullah Saw bersabda, “Jauhilah kalian dari kepemimpinan anak kecil.” (Ditakhrij oleh Ahmad bin Hambal)

Juga sabda Rasulullah, “Dimaafkan kesalahan orang tidur hingga bangun, anak kecil hingga baligh dan orang gila hingga sadar.” (Ditakhrij oleh Tirmidzi dan Ahmad bin Hambal).

Maka barangsiapa yang tidak diberi beban tanggung jawab oleh Allah dan tidak diperhitungkan perbuatannya, serta tidak sah pengakuannya kecuali atas perintah wali yang memeliharanya, tentu tidak diperkenankan untuk menjadi pemimpin yang mengurusi urusan umat, karena kepemimpinan merupakan tanggung jawab syariat yang terbesar yang akan diperhitungkan di hadapan Allah di akhirat dan dipertanggungjawabkan di hadapan manusia di dunia jika tidak dilaksanakan dengan baik.

Keempat: Pemimpin harus berakal. Tidak sah orang gila atau orang linglung untuk menjadi pemimpin, karena mereka termasuk orang-orang yang dilepas tanggung jawabnya, seperti yang disebutkan di dalam hadits di atas.

Di samping itu karena pada akallah letak tanggung Jawab syariat, maka barangsiapa yang hilang akalnya maka lepaslah tanggung jawabnya, sedangkan kepemimpinan merupakan tanggung jawab syariat terbesar.

Kelima: Adil dan tidak fasik. Orang fasik adalah orang yang tidak taat kepada Allah, baik sebagian atau seluruhnya. Islam mensyaratkan sifat adi agar kesaksian seseorang diterima. Allah SWT berfirman, “Persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.” (QS. Ath Thalaq: 2).

Jika untuk menjadi saksi saja diperlukan sifat adil apalagi untuk menjadi seorang pemimpin. Maka dari itu hendaknya seorang pemimpin memiliki perangai dan akhlak yang baik seperti yang disabdakan oleh Rasulullah, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (Ditakhrij oleh Ahmad dan Bukhari).

Keenam: Pemimpin haruslah orang merdeka bukan budak, karena budak adalah milik tuannya, sehingga dia tidak punya wewenang terhadap dirinya sendiri. Maka orang yang berada dalam keadaan semacam ini tidak akan mampu memimpin umat.

Atas karunia Allah dan kebaikan Islam kelompok manusia seperti ini (budak) sudah tidak ada lagi dalam dunia Islam, karena Islam telah membebaskan mereka dan menutup pintu bagi siapa saja yang ingin melanggengkan perbudakan, lalu dianjurkan agar menyebarkan persamaan. Jika musuh memperbudak kita maka kita akan memperbudak mereka, jika tidak maka kita pun tidak. Allah SWT berfirman,

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

five × four =