Syarat-Syarat Pemimpin dalam Islam
KEBERADAAN pemimpin merupakan keharusan bagi manusia, seperti adanya air untuk kehidupan, karena tidak ada kebahagiaan bagi manusia kecuali bila ada pemimpin.
Keadilan dan kebenaran tidak akan tampak kecuali dengan adanya kekuasaan pemimpin. Manusia akan menjadi lemah tanpa pemimpin dan jika mereka lemah maka mereka tidak akan mendapatkan kemaslahatan, hukum-hukum syariat tidak bisa ditegakkan dan hukum-hukum Islam tidak dilaksanakan, sehingga mereka merasa tidak nyaman hidupnya, tidak mendapatkan kemuliaan dan tidak dapat mengusir musuh yang tamak jika mereka lemah.
Rasulullah Saw telah menggambarkan mengenai masalah ini dalam sabdanya, “Sesungguhnya seorang imam (pemimpin) itu merupakan pelindung. Dia bersama pengikutnya memerangi orang kafir dan orang zalim serta memberi perlindungan kepada orang-orang Islam.” (HR. Bukhari)
Karena demikian penting dan tingginya posisi seorang pemimpin, maka di dalam Islam terdapat syarat-syarat wajib untuk dapat dipilih sebagai pemimpin atau kepala negara. Hal ini akan berdampak pada benar tidaknya kepemimpinan secara syariat.
Syekh Abdul Aziz Al-Badri dalam kitab “Al Islam Baina Al-Ulama wa Al-Hukkam” menyebutkan setidaknya ada enam syarat wajib menjadi pemimpin atau kepala negara. Keenam syarat itu antara lain:
Pertama: Pemimpin harus beragama Islam. Tidak sah orang Islam dipimpin oleh non-Muslim. Jika terjadi maka dia tidak wajib ditaati dan tidak wajib dijalankan perintahnya. Karena Allah SWT berfirman,
“Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa’: 141).
Kekuasaan merupakan cara termudah bagi penguasa untuk menyalurkan keinginannya kepada rakyatnya. Di samping itu Allah SWT juga berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasu (Nya), dan ulil amri di antara kamu (yang beragama Islam). Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An- Nisa’: 59).
Kedua: Pemimpin harus laki-laki. Tidak sah bagi wanita untuk menjadi pemimpin seperti yang disabdakan Rasulullah, “Tidak akan bahagia suatu kaum yang dipimpin oleh seorang wanita.” (Diriwayatkan Bukhari).