Stoikisme Pemuda ‘Nyeni’ dalam Kode Langit

 Stoikisme Pemuda ‘Nyeni’ dalam Kode Langit

Ilustrasi (pixabay.com)

(MUNGKIN), banyak yang mengira Stoikisme hanya milik filsuf Yunani, lahir dari tanah asing yang jauh dari nilai-nilai kita. Tapi kalau kita menyimak lebih dalam, nilai-nilainya justru bergema pula dalam kitab yang paling dekat: Al-Qur’an.

Stoikisme berbicara tentang keseimbangan batin, tentang menerima hal-hal yang di luar kendali, dan menjaga diri dari keterikatan berlebihan pada dunia.

Dan Al-Qur’an, telah mengajarkan hal yang sama,

‎”لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَىٰ مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ”

“Agar kalian tidak bersedih atas apa yang luput, dan tidak terlalu gembira atas apa yang diberi.” (QS. Al-Hadid: 23)

Ayat ini mengajak untuk tidak terikat secara berlebihan. Jangan tenggelam dalam penyesalan, dan jangan mabuk oleh keberhasilan. Sebab apa yang datang dan pergi, bukan selalu cerminan siapa dirimu—tapi bagian dari skenario yang lebih besar, yang seringkali di luar kuasamu.

Bukankah itu inti Stoik juga?

Maka, ketika kamu melukis tapi tak dihargai, menulis puisi tapi cuma dicibir—jangan buru-buru merasa gagal. Di situ, stoikisme cuma duduk diam di sudut batin, lalu berbisik: “yang penting kamu nyeni dengan jujur, hasilnya bukan urusanmu.”

Al-Qur’an pun mengingatkan: luput dan diberi, dua-duanya bukan milikmu sepenuhnya. Yang bisa kamu pegang hanyalah kejujuran dan seni dalam proses.

Sisanya? Serahkan. Tenang. Jalan terus.

Banyak sekali buku tentang hidup, tentang bertahan, tentang jadi manusia memakai kata “seni” atau “Art” dijudulnya. The Subtle Art of Not Giving a F*ck, The Art of Starting Over, The Art of Thinking Clearly… Seakan-akan hidup ini bukan sekadar ilmu pasti, tapi semacam lukisan yang kita goreskan sendiri.

Kenapa tidak “ilmu berpikir jernih”? Kenapa bukan “ilmu memulai ulang”? Kenapa bukan “ilmu menghadapi hidup”?

Kita hidup di jalan, di pasar, di gang-gang sempit, di antara utang, cinta, salah paham, dan tanya yang kadang tak kunjung dijawab. Maka cara menjalani hidup pun bukan soal rumus, tapi rasa.

Seni untuk tetap tenang walau lagi disudutkan, seni untuk menolak tanpa menyakiti, seni untuk jatuh, dan seni pula untuk bangkit.

Hidup itu panggung. Kita bukan hanya aktornya, tapi juga penulis naskah, sutradara, dan penonton. Dan panggung ini tak pernah selesai dipentaskan. Kita tak mencari kunci, kita belajar menyempurnakan gerak. Kita tidak berlomba menjadi paling tahu, kita belajar menjadi paling mampu merasa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

one × three =