Sistem Perhotelan dalam Peradaban Islam
Ilustrasi: Sebuah hotel berbintang di Madinah.
Dapur hotel juga menyuguhkan manisan madu setiap malam Jumat. Manisan tersebut dibagi kepada semua musafir yang di situ dengan sama rata. Dalam data Qarah Thay disebutkan bahwa setiap malam Jumat hotel membuat manisan madu dan membagi-bagikannya kepada setiap yang mampir di hotel secara sama rata.
Hotel-hotel tersebut tersebar luar di Andalusia sejak masa daulah Umawiyah. Akan tetapi, sebagiannya kemudian menyimpang dari etika-etika umum. Maka para penguasa berusaha untuk menutup operasinya karena mereka menimbulkan krisis akhlak di masyarakat. Tahun 206 H, Al-Hakam bin Hisyam memerintahkan untuk menghancurkan hotel yang ada di Rabadh. Orang yang mengurusi hotel ini termasuk perusak dan fasik. Akhirnya hotel tersebut dihancurkan.
Tidak diragukan lagi bahwa perbuatan-perbuatan keji yang dilakukan di sebagian hotel pada zaman dulu adalah mirip dengan apa yang kita lihat atau kita dengar dari banyak hotel modern. Akan tetapi, ada perbedaan yang jauh di antara keduanya. Para khalifah dan amir zaman dulu menindakkerusakan-kerusakan tersebut dengan sekuat tenaga dan memerintahkan agar hotel-hotel tersebut dijatuhi macam-macam hukuman, lalu dihancurkan. Namun, kita akan menyaksikan sebaliknya dari perlakuan terhadap hotel-hotel pada zaman sekarang.
Sebagian penguasa memiliki perhatian dengan membangun banyak hotel dan mewakafkannya untuk orang-orang fakir dan para musafir. Sultan daulah Al-Muriniyyin di Maghrib, Abu Ya’qub Yusuf Al-Murini (w. 706 H.), setuju renovasi hotel Asy-Syamain di kota Fez setelah mengalami kehancuran. Lalu ia mewakafkannya untuk para pendatang ke masjid jami kota.
Hotel-hotel pada masa daulah Al-Mamalik juga tersebar sangat luas. Dan sesuatu yang baru yang diberikan oleh daulah ini dalam perjalanan peradaban Islam adalah mendirikan hotel-hotel khusus untuk kelompok minoritas asing di Mesir dan Syam. Umumnya mereka merupakan para saudagar dan pelancong yang berasal dari Barat.
Al-Muqrizi menyebutkan bahwa orang-orang Siprus yang menyerang kota Iskandariah tahun 783 H, membakar banyak rumah, toko, dan hotel. Al-Muqrizi mengatakan, “Sesungguhnya orang-orang yang terlaknat telah membakar hotel Al-Kaitalaniyyin, hotel Al-Janwiyyin, hotel Al-Mozah dan hotel Al-Musaliyyin.
Hotel-hotel yang disebutkan oleh Al-Muqrizi tersebut adalah hotel-hotel yang dikhususkan bagi para saudagar Eropa dan Italia, misalnya para saudagar Jenewa dari Italia. Hal ini menunjukkan betapa agungnya peradaban Islam yang juga telah memperhatikan kaum non muslim dari Eropa pada abad-abad pertengahan.
Bahkan pihak negara menyedikan hotel khusus untuk para pemilik profesi tertentu. Ada hotel yang dikhususkan untuk para pedagang minyak yang berasal dari Syam. Hotel ini namanya hotel Tharanthay di kota Kairo.
Sesungguhnya keberadaan hotel dalam sejarah peradaban Islam sejak awal sekali menunjukkan pentingnya dimensi sosial yang dijaga oleh peradaban ini dalam segala praktiknya, baik dalam materi maupun rohani. Bahkan peradaban ini memiliki dimensi lain yaitu dimensi solidaritas sosial yang tidak dikenal oleh peradaban lain. Hal ini dapat terlihat dari banyaknya hotel yang dipersiapkan kepada semua lapisan masyarakat secara gratis. Setiap orang boleh menginap di situ sekehendaknya tanpa ada seorang pun yang mengganggu ketenangannya, baik ia seorang pedagang, pencari ilmu, musafir atau lainnya.
Tidak diragukan lagi bahwa potret nyata cemerlang dalam sejarah peradaban Islam makin mengukuhkan agungnya dimensi humanisme yang telah disumbangkan oleh peradaban ini.
