Sistem Perhotelan dalam Peradaban Islam

 Sistem Perhotelan dalam Peradaban Islam

Ilustrasi: Sebuah hotel berbintang di Madinah.

PERADABAN ISLAM telah mengenal sistem perhotelan sejak awal. Al-Qur’an telah menjelaskan bolehnya masuk ke rumah-rumah umum nyang di antaranya adalah tempat penginapan atau hotel. Hal ini menunjukkan karakter Islam yang realistis dan sosial.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Tidak ada dosa atasmu memasuki rumah yang tidak didiami, yang di dalamnya ada keperluanmu.” (QS. An-Nur: 29)

Imam Ath-Thabari menafsirkan ayat tersebut dengan mengatakan, “Wahai manusia, tidak ada dosa atasmu untuk memasuki rumah-rumah yang tidak berpenghuni tanpa izin. Para ulama berselisih mengenal hal itu, rumah apakah yang dimaksud? Sebagian mereka mengatakan bahwa yang dimaksud adalah hotel dan rumah-rumah yang dibangun di perjalanan dan rumah-rumah ini tidak memiliki penghuni yang tertentu. Akan tetapi, ia dibangun untuk para pelancong dan orang-orang yang dalam perjalanan agar mereka menginap dan menempatkan barang-barang mereka di situ.”

Yang menarik di sini, pembangunan hotel-hotel sejak awal masa Islam mengukuhkan majunya peradaban Islam dan perhatiannya terhadap kondisi para musafir dan orang asing. Karena ibnu sabil (musafir) termasuk orang-orang yang berhak menerima zakat, maka lembaga-lembaga keislaman menyediakan keperluan-keperluannya berupa makanan, minuman, dan tempat menginap atau istirahat. Oleh karena itu, hotel-hotel merupakan bagian dari maslahah mursalah yang diciptakan dalam naungan syariat Islam dan tindakan yang agung yang memberi nilai istimewa terhadap peradaban Islam dalam sejarah panjangnya.

Hotel-hotel itu tersebar di sepanjang jalur-jalur bisnis antara kota-kota Islam. Para penggunanya yang paling banyak adalah para pedagang dan para pencari ilmu. Hotel-hotel tersebut menyediakan makanan dan minuman gratis kepada orang fakir-miskin dan para mufasir. Oleh karena itulah, hotel-hotel yang menyediakan makanan gratis itu disebut dengan Dar Adh-Dhiyafah (rumah perjamuan).

Hotel-hotel tersebut merupakan tempat istirahat yang sebenarnya yang dipersiapkan oleh negara atau para pelaku kebajikan untuk para musafir. Hotel-hotel tersebut melindungi mereka dari panasnya musim panas dan dinginnya musim dingin. Sa’dan bin Yazid, seorang ulama abad ketiga Hijriyah, menyebutkan bahwa ia pernah menginap di salah satu hotel tahun 262 H. Saat itu malam diguyur hujan yang deras dan diselingi guntur. la mendapati ruang-ruang hotel dan ranjang-ranjangnya telah penuh dengan penginap karena cuaca yang sangat dingin.

Hotel-hotel tersebut dibuat sekiranya para pencari ilmu dapat membaca dan berdiskusi di dalamnya tanpa mengalami gangguan atau mendapati suara yang gaduh.

Ibnu Asakir menyebutkan bahwa Abu Amr Ash-Shaghir mengatakan, “Kami turun di salah satu hotel di Damaskus yang dekat dengan istana. Kami melakukan shalat Ashar. Ketika itu kami telah berencana untuk menemui Ahmad bin Umair pada pagi harinya. Lalu penanggung jawab hotel datang dengan langkah yang cepat. la mengatakan, “Di manakah Abu Ali Al-Hafizh?” Aku menjawab, “Di sini.” Ia mengatakan, “Sesungguhnya syaikh akan menemuinya.” Ketika pagi hari, kami menemukan syaikh di atas bighalnya telah tiba di hotel. la turun dari kendaraannya, lalu naik ke kamar yang kami tempati. la mengucapkan salam kepada Abu Ali, menyambutnya, dan menampakkan rasa senang dengan kedatangannya. Kemudian mereka larut dalam diskusi ilmiah hingga hari telah petang. Ia berkata, “Wahai Abu Ali, apakah kamu mengumpulkan hadits Abdullah bin Dinar?” Abu Ali menjawab, “Ya.” Ia berkata, Keluarkanlah kepadaku.”  Abu Ali mengeluarkannya, dan ia mengambilnya dan meletakkannya dalam genggaman, lalu berdiri dan naik kendaraan.

Keberadaan hotel-hotel seperti ini menjadi faktor pendorong para pencari ilmu untuk melakukan perjalanan ke negeri mana saja di antara negeri-negeri Islam. Imam Adz-Dzahabi menyebutkan bahwa ulama besar Andalusia Baqi bin Mukhlad datang ke Baghdad untuk mempelajari hadits dari Imam Ahmad bin Hanbal. Ketika itu Imam Ahmad masih dalam tahanan rumah setelah keluar dari penjara gara-gara tragedi tentang adanya pendapat kemakhlukan Al-Qur’an. Setelah yakin akan lama bermukim di Baghdad, maka ia menyewa kamar salah satu hotel Baghdad. Dan setiap hari, ia pergi kepada Imam Ahmad dengan penampilan orang miskin agar ia dapat mempelajari satu atau dua hadits darinya. Setelah itu ia kembali ke kamarnya di Baghdad hingga Imam Ahmad bin Hanbal diperbolehkan untuk menyampaikan ilmunya secara terang-terangan.

Perhotelan dalam peradaban Islam mengalami perkembangan, karena penggunanya tidak hanya terbatas para pedagang dan para pencari ilmu. Kita menemukan sebagian khalifah menggunakannya sebagai tempat istirahat saat melakukan sebuah perjalanan. Khalifah Abbasiyah Al-Mu’tadhid menginap di hotel Al-Husain dekat kota Iskandarona (sekarang masuk wilayah Turki) tahun 287 H. saat melakukan kontroling terhadap kondisi daerah-daerah perbatasan dan kota-kota Syam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *