Sistem Perhotelan dalam Peradaban Islam

 Sistem Perhotelan dalam Peradaban Islam

Ilustrasi: Sebuah hotel berbintang di Madinah.

Bahkan banyak khalifah yang mencurahkan perhatian untuk memperbaiki perhotelan. Mereka mengeluarkan dana untuk keperluan para musafir, orang fakir, dan pencari ilmu. Khalifah Al-Mustanshir Billah (w. 640 H) masyhur dalam membangun hotel-hotel yang dipergunakan oleh orang-orang fakir dan para musafir.

Pemimpin Islam lain yang juga terkenal dalam membangun hotel-hotel gratis adalah Amir Nuruddin Mahmud. Abu Syamah menukil dari Ibnu Al-Atsir dalam kitab Ar-Raudhatain bahwa Nuruddin Mahmud telah membangun hotel-hotel di jalur-jalur yang dilalui banyak orang. Hal ini demi memberikan keamanan kepada setiap orang dan harta mereka dan mereka dapat menginap untuk melindungi diri dari cuaca dingin dan hujan ketika musim dingin.

Sesuatu yang menarik perhatian adalah sebagian kaum perempuan telah ikut andil dalam membangun hotel-hotel seperti itu karena mereka mengharap balasan yang baik dari Allah. Ishmatuddin binti Muinuddin Anar isteri Shalahuddin (w. 581 H) membangun hotel Ishmatuddin di kota Damaskus. 492 Begitu juga perempuan lain (Ibnu Asakir tidak menyebutkan namanya) membangun hotel Ibnu Al-Annazah di Damaskus.

Hotel-hotel tidak hanya dibangun di kota-kota besar. Namun ia juga dibangun di kota-kota kecil, desa-desa, dan deerah-daerah yang terpencil. Seorang ahli lukis asal Prancis yang dipanggil dengan nama Simon melukis hotel-hotel yang ada di kota Asfahan, setelah mengunjunginya pada 1084 H. Ia menemukan ada 1600 hotel di sana.

Sebagian hotel-hotel tersebut memiliki tempat khusus untuk menyimpan harta benda dan barang-barang amanat. Ia seperti bank pada zaman sekarang. Para pengurusnya terdiri dari kaum laki-laki dan perempuan. Mereka tidak diperbolehkan menyerahkan harta benda dan barang-barang titipan kecuali kepada pemiliknya.

Hal itu disebutkan Ibnul Jauzi dalam peristiwa-peristiwa tahun 571 H. Ia mengatakan, “Seorang pedagang menjual barang dagangannya dengan harga seribu dinar. Lalu ia menyimpan hartanya di hotel Anbar (di Baghdad) dan pulang ke rumahnya tanpa membawa apa-apa kecuali budak hitam yang baru ia beli beberapa hari sebelum itu. Saat hari telah berganti malam, budak baru tersebut melakukan aksi jahat yaitu menikam hati tuannya dengan sebilah pisau. Setelah berhasil menikam, ia mengambil kunci dan pergi ke hotel Anbar. Ia mengetuk pintu hotel. Perempuan yang menjaga pintu bertanya, “Siapakah Anda?” Budak menjawab, “Aku budak fulan. Ia telah mengutusku untuk mengambil sesuatu miliknya di hotel ini.” Perempuan tersebut berkata, “Demi Allah, kami tidak akan membukakan pintu kepadamu hingga tuanmu sendiri datang ke sini.” Ia kembali ke rumah untuk merampok apa yang ada di dalam rumah.

Secara kebetulan, ada seorang polisi yang melakukan patroli mendengar jeritan pedagang tersebut ketika ditikam pisau. Lalu ia segera menangkap budak tersebut. Sang tuan masih sempat hidup dua hari. Ia berwasiat agar budak tersebut dibunuh setelah ia meninggal. Budak tersebut akhirnya disalib di sebuah pelataran setelah tuannya meninggal.”

Keistimewaan sebagian hotel-hotel tersebut adalah memiliki dapur. Para pemilik hotel berusaha untuk mengambil ahli masak yang terbaik dengan memberikan upah tertentu kepadanya. Dapur menyediakan masakan untuk setiap musafir yang mampir di hotel, baik ia seorang muslim maupun non muslim dan merdeka maupun budak. Setiap yang menginap diberi jatah tiga uqiyah roti atau sebanding dengan satu kilogram roti, 250 gram daging yang telah dimasak, satu piring makanan dan lain sebagainya.

Dalam data wakaf hotel Qarah Thay pada masa Bani Saljuq disebutkan bahwa setiap orang yang datang di hotel tersebut, baik ia muslim maupun non muslim, laki-laki maupun perempuan, merdeka maupun budak, diberi jatah setiap hari dengan tiga uqiyah roti yang bagus, setiap uqiyah sebera seratus dirham, satu mangkok masakan yang lain dan beberapa uqiyah daging yang telah dimasak.

Dari data di atas, kita memperhatikan bahwa peradaban Islam berupaya keras untuk menerapkan asas persamaan dalam hak dan kewajiban. Peradaban Islam tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan, budak dan merdeka, atau muslim dan non muslim.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

4 − 1 =