Persada 212: Bubarkan BPIP

KH Shabri Lubis
Jakarta (Mediaislam.id) – Persaudaraan Alumni 212 (Persada 212) turut mencermati peristiwa Paskibraka muslimah yang dipaksa melepas jilbab (kerudung) dalam pengukuhan dan pernyataan resmi dari BPIP yang diwakili oleh Benny Susetyo melalui pernyataan terbuka bahwa dalam acara resmi kenegaraan memang tidak diperbolehkan menggunakan jilbab (penutup kepala).
Persada 212 menilai, tidak digunakannya jilbab sebagai pakaian resmi seragam paskibraka 2024, karena memang tidak diatur pada keputusan kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) nomor 35 tahun 2024 tentang standar pakaian, atribut, dan sikap tampang pasukan pengibar bendera pusaka.
“Dengan demikian, maka berarti BPIP secara legal formal “melarang” penggunaan jilbab (kerudung) dalam acara resmi kenegaraan. Padahal sebagai salah satu agama yang diakui di Indonesia, BPIP harusnya juga mengatur pakaian seragam muslimah, karena jilbab (kerudung) adalah juga merupakan bentuk dari pengamalan sila pertama dari Pancasila,” jelas Ketua Umum Persada 212 KH Shabri Lubis dalam pernyataan sikapnya, Rabu (14/08/2024).
Menurut Kiai Shabri, karena tidak diaturnya penggunaan pakaian muslimah pada pakaian standar paskibraka, maka pada pelaksanaan peraturan tersebut, BPIP kemudian tidak mengakomodir anggota tim paskibraka yang menggunakan jilbab. Tim Paskibraka wajib melaksanakan aturan sebagaimana yang diatur pada keputusan kepala BPIP No 35/2024, yakni bahwa Paskibraka putri mengenakan pakaian berupa rok dengan panjang 5 (lima} sentimeter di bawah lutut, baju lengan panjang warna putih, dan kaos kaki hingga lutut.
“Klausul inilah yang merupakan bentuk pelarangan dan pemaksaan terhadap muslimah yang menjadi anggota Paskibraka untuk melepaskan jilbab (kerudung)nya,” ujarnya.
Kiai Shabri menilai, dalam kasus ini sebenarnya tidak hanya BPIP yang bertanggung jawab dengan dugaan ingin menghapus agama dalam berbangsa dan bernegara, dengan meniadakan aturan pakaian muslim pada tim paskibraka 2024, tetapi juga termasuk Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhannas), sebagai pihak yang telah bekerjasama dengan BPIP dalam penyelenggaraan pemantapan nilai-nilai kebangsaan bagi penyelenggara dan paskibraka.
“Dalam jangka panjang, BPIP secara sistematis melakukan strategi sekularisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dengan uji coba kegiatan Paskibraka dan upacara kemerdekaan Republik Indonesia. BPIP telah secara by design membuang sila pertama dalam pengamalan kehidupan berbangsa dan bernegara,” ungkapnya.
Pihaknya mengungkapkan bahwa BPIP dan Lemhannas telah membuat kesepakatan kerjasama yang tertuang dalam surat dengan nomor : PKS/43/VII/2024/Lemhannas RI Nomor dan PKS/07/BPIP/D.1/07/2024, tentang penyelenggaraan pemantapan nilai-nilai kebangsaan bagi penyelenggara dan paskibraka.
“Dengan demikian sekulerisasi dan atheisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara sistematis, terencana dan terstruktur telah menjadi program jangka panjang dari BPIP dan Lemhanas,” jelas Kiai Shabri.
Persada 212 juga mengungkapkan bahwa pada poin 3 (tiga) surat kerjasama yang ditandatangani Mayor Jenderal TNI Rido Hermawan, M.SC, deputi bidang pemantapan nilai-nilai kebangsaan Lemhannas RI, dan M. Prakoso, M.M, Plt. Deputi Bidang Pendidikan dan Pelatihan BPIP tanggal 8 Juli 2024 itu disebutkan, bahwa dalam rangka Pemantapan Nilai-Nilai Kebangsaan yang bersumber dari Empat Konsensus Dasar Bangsa (Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI, Sesanti Bhinneka Tunggal Ika) maka, perlu dilakukan pembinaan dan pemantapan secara terencana, menyeluruh, terpadu, dan berkelanjutan kepada Pasukan Pengibar Bendera Pusaka yang merupakan putra dan putri terbaik bangsa yang dibentuk dengan semangat jiwa mempertahankan Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI, Sesanti Bhinneka Tunggal Ika, untuk mendukung pelaksanaan Program Pasukan Pengibar Bendera Pusaka di Tingkat Pusat diperlukan sinergitas, kerjasama dan koordinasi dengan berbagai pihak, terutama dengan pihak kedua.
Lalu, pada poin 4 (empat) perjanjian kerjasama juga disebutkan, bahwa Perjanjian Kerja Sama ini disusun atas dasar dan sebagai tindak lanjut dari Kesepahaman Bersama antara Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia dengan BPIP, Nomor MoU/07/XII/2019 dan Nomor MoU.10/Ka.BPlP/12/2019 tanggal 9 Desember 2019 tentang Pelaksanaan Pembinaan Ideologi Pancasila.
Dari dua poin kesepakatan kerjasama di atas, kata Kiai Shabri, jelas tergambar bahwa Lemhannas seharusnya bertanggung jawab menjaga nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara khususnya Sila Pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan tidak membiarkan BPIP membuat peraturan standar pakaian Paskibraka yang mengabaikan nilai keagamaan yang dianut bangsa Indonesia.
“Ini menjadi bukti nyata bahwa justru apa yang dilakukan oleh BPIP dan Lemhanas adalah justru bertentangan dengan sila pertama dari Pancasila, bertentangan dengan kebhinekatunggalikaan, yaitu menghargai perbedaan dalam persatuan, bertentangan dengan UUD yang jelas menyatakan Negara Berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, dan bertentangan dengan kesatuan NKRI yang terdiri dari beragam agama, yang memiliki karakter dan kekhasan atribut keagamaan,” tuturnya.
Kemudian, dalam Press release Kepala BPIP disebutkan, BPIP menegaskan bahwa tidak melakukan pemaksaan lepas jilbab. Penampilan Paskibraka Putri dengan mengenakan pakaian, atribut dan sikap tampang sebagaimana terlihat pada saat pelaksanaan tugas kenegaraan yaitu Pengukuhan Paskibraka adalah kesukarelaan mereka dalam rangka mematuhi peraturan yang ada dan hanya dilakukan pada saat Pengukuhan Paskibraka dan Pengibaran Sang Merah Putih pada Upacara Kenegaraan saja.
“Pernyataan Kepala BPIP Yudian Wahyudi ini hanyalah sikap berlindung pada peraturan yang dibuat dan ditandatanganinya sendiri. Peraturan yang tidak menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila khususnya sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Alasan bahwa ini adalah sebuah tradisi yang bahkan sudah dimulai sejak zaman Presiden Soekarno, bukan berarti tidak bisa diubah karena aturan agama lebih tinggi dari aturan manusia, apalagi sekedar tradisi,” kata Kiai Shabri.
“Sikap BPIP yang membuat peraturan pakaian Paskibraka tanpa mengatur pakaian muslimah, adalah sikap penghinaan terhadap syariat Islam, yang tentu tidak dapat ditolerir dan menunjukkan sikap anti syariat, anti Islam dan permusuhan terhadap ajaran Islam,” tambahnya.
Oleh karena itu, berdasarkan pandangan dan analisa tersebut, maka kami Persaudaraan Alumni 212 (Persada 212) menuntut kepada Panitia Penyelenggara dan BPIP agar mencabut peraturan yang tidak mengakomodir penggunaan jilbab (kerudung) dalam upacara dan acara resmi kenegaraan.
“Mendesak agar Presiden segera membubarkan BPIP karena dinilai sebagai lembaga yang justru mengarah pada upaya menciptakan bangsa Indonesia yang sekuler, yang menjauhkan agama dari kehidupan masyarakatnya. Ini tentu sangat berbahaya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara,” tegas Kiai Shabri.
Persada 212 juga mendesak pemerintah agar memberhentikan dengan segera oknum oknum anti Islam dari jabatan BPIP dan Lemhanas yang secara sistematis, terencana dan terstruktur, telah menggunakan lembaga BPIP dan Lemhanas untuk melakukan kampanye sekulerisasi, atheisme, anti Islam dan memusuhi ajaran Islam, sekaligus telah berkhianat terhadap sila pertama dari Pancasila, UUD 1945, Kebhinekatunggalikaan, serta Persatuan NKRI. [ ]