Pangan Habis di Gaza, Kematian Massal Mulai Terjadi

 Pangan Habis di Gaza, Kematian Massal Mulai Terjadi

Oleh:

Maimon Herawati (Dosen Unpad dan Direktur SMART 171)

Kemarin (22/7) BBC memberitakan bahwa 21 anak-anak meninggal karena kelaparan akut dalam rentang tiga hari. Angka tujuh anak per hari ini akan melonjak hari ini dan hari ke depannya karena pangan benar-benar sudah habis di dalam Gaza.

Juni lalu, masih ada pangan yang bisa dibeli walau dengan harga 500%. Harga susu formula bayi lebih dari 1,5 juta satu kaleng. Sekilo tepung 500 ribu rupiah. Dulu sekilo tepung hanya sekitaran 25 ribu rupiah sekilo.

Dapur darurat kami, Juni itu masih bisa melayani 6000 pengungsi walau dengan menu nasi saja. Pekan ini saat menghubungi dapur untuk mengirimkan dana terkumpul, tim Gaza menyampaikan bahwa tidak ada bahan pangan tersisa yang bisa dimasak.

Dahulu, pada 2024, kita mendengar bahwa warga Gaza mengolah pakan ternak menjadi roti keras. Sekarang pakan ternak pun tidak ada. Kosong. Akibatnya, sebagian besar warga Gaza saat ini tidak makan berhari-hari. Setiap jam masuk berita tentang efek kelaparan akut Gaza.

Seorang ibu terduduk lemah di lorong ruangan, tidak sanggup melakukan apapun karena telah lima hari tidak memakan apapun. Anak-anak saking laparnya, menangispun tidak ada tenaga lagi. Seorang bapak tua meninggal saat mengantri makanan di dapur umum.

Wartawan terlihat begitu ceking. Banyak yang nampak lemah karena kelaparan akut. Video terbaru dari wartawan Gaza, kontributor kami, wartawan meminum air garam sebagai sumber energi sehingga bisa terus melakukan reportase.

Dokter juga menyampaikan kalau mereka tidak sanggup bekerja karena seperti yang lain, mereka juga tidak makan dan minum. Anas Al Syarif, wartawan Al Jazeera menangis saat memberitakan ini.

Satu-satunya lokasi harapan mendapatkan makanan adalah Gaza Humanitarian Foundation (GHF), lembaga yang dibentuk Israel dan Amerika untuk membagikan bantuan sejak Mei lalu. Israel melarang UNRWA, lembaga resmi PBB, mengoperasikan 400 titik bantuan kemanusiaannya. Gantinya mereka membuka 4 titik GHF di area militer yang telah mereka suruh kosongkan.

GHF ini dibuka kadang hanya sebelas menit saja. Lalu tutup. Untuk mencapainya, warga Gaza berjalan melewati wilayah militer. Mereka harus waspada, selalu siap tiarap jika drone dan tank menembak. Satu per satu tubuh itu memerah karena darah.

Saat GHF dibuka, ribuan orang berpacu masuk ke dalam untuk memperebutkan kotak sembako. Seringkali yang mereka dapatkan kotak kosong.

Sejak dibuka hingga kemarin, lebih dari seribu warga Gaza meninggal saat mencari makanan dari GHF dan konvoi kemanusiaan, catat PBB. Pimpinan UNRWA, Philippe Lazzarini, mengatakan GHF adalah jebakan maut yang membunuh lebih banyak orang daripada menyelamatkan nyawa melalui bantuannya.

Pilihan lelaki dewasa Gaza, duduk lemah di tenda hingga maut mendekat, atau bergerak keluar mencari tepung dengan resiko ditembaki penjajah Israel, di tengah terik matahari musim panas. Tenggorokan kerontang, perut diikat batu, sedang makanan dan minuman tetap tidak didapat.

Lebih baik kami dibom daripada mati perlahan begini, ungkap mereka.

Sementara itu, WHO, UNRWA, dan lembaga PBB lainnya menjelaskan ada enam ribu truk parkir dalam antrian di Mesir yang berjarak hanya beberapa kilometer dari Gaza, siap masuk Gaza. Pangan yang dibawa truk cukup memberi makan warga Gaza untuk tiga bulan.

Truk ini tidak bisa memasuki Gaza karena blokade yang dilakukan Israel dan sekutu. Ya, Mesir adalah sekutu Israel. Mesir sebenarnya bisa membuka perbatasan. Saat Israel menyerang Iran dan Iran membalas serangan, puluhan ribu warga Israel dan asing meninggalkan Israel melalui jalan darat Mesir. Warga Israel yang terdampar di luar Israel juga bisa masuk ke Israel melalui Mesir.

Bagi warga asing dan Israel, Mesir membuka perbatasan, tapi Mesir menutup akses bagi truk kemanusiaan dan konvoi Tsamud lalu.

Mengapa Mesir melakukan ini? Karena Mesir sekutu Israel dalam blokade ini.

Pemerintah Mesir paling bertanggung jawab saat ini. Setiap nyawa yang melayang karena kelaparan, Mesir memiliki kontribusi. Mesir bagian dari pelaku genosida abad ini.

Sikap Indonesia

Sikap negara dan bangsa Indonesia ditunggu. Presiden Prabowo sangat mungkin mendesak Presiden Sisi untuk membuka perbatasan. Jika gagal, Presiden Prabowo bisa mengajak sahabat karibnya, pemimpin Yordania, Raja Abdullah untuk bersama-sama mengirimkan pesawat menerjunkan bantuan pangan ke Gaza. Warga Jordan dan Indonesia siap menggalang dana jika diperlukan untuk biaya operasional.

Kita sangat mungkin melakukan tekanan dengan datang ke Kedubes Jordan dan Mesir di Jakarta menyampaikan permintaan. Jika jauh, surat sangat bisa dikirimkan secara bersamaan. Semakin banyak, semakin bagus.

Para penguasa negara mayoritas Muslim ini harus tahu, tidak ada posisi netral di hadapan genosida. Diam artinya membiarkan genosida. Diam adalah keterlibatan. Dan yang duluan dibunuh oleh pelaparan buatan saat ini adalah anak-anak.*

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

19 − five =