Mengenal Syekh Muhammad Basyuni Imran, Maharaja Imam Kesultanan Sambas
Ilustrasi: Ma’had Muhammad Basyuni Imran di Sambas, Kalbar.
Disebutkan, Basyuni Imran belajar di Mekah kurang lebih lima tahun. Hingga ia akhirnya kembali ke Sambas pada 1906.
Di Sambas, Basyuni Imran berlangganan Majalah Al-Manar yang dipunggawai tokoh modernis Islam, Syekh Rasyid Ridha. Media ini mengupas banyak aspek pengetahuan Islam, serta mendorong Muslimin untuk selalu mengejar ketertinggalan terhadap masyarakat Barat.
Pada 1328 Hijriyah atau 1910 Masehi, Basyuni Imran berangkat ke Mesir. Ia ditemani saudara kandungnya, Achmad Fauzie, dan seorang sahabatnya, Achmad So’od. Selama di Mesir, mereka menuntut ilmu di Universitas al-Azhar Kairo. Dalam catatannya, Imran mengenang, terdapat seorang alim yang membuatnya terkagum, yakni Syekh Ali Surur az-Zaaqaluni.
Selain belajar di Al Azhar, Basyuni Imran juga belajar di Madrasah Dar Ad-Da’wah wa Al-Irsyad yang dipimpin Syekh Rasyid Ridha.
Pada 1913 M, Basyuni Imran diminta pulang karena ayahnya, Muhammad Imran Maharaja Imam, dalam kondisi sakit keras menjelang wafatnya. Saat itu usia Basuni sekitar 30 tahun. Selang beberapa bulan ia dinobatkan sebagai Maharaja Imam menggantikan sang ayah.
Kiprahnya di Bidang Pendidikan
Basyuni Imran Maharaja Imam aktif mengajar pada beberapa madrasah di Sambas. Di samping itu, ia mengadakan ceramah umum pekanan di masjid Kesultanan Melayu Sambas dengan risalah-risalah tafsir dan tauhid karya Rasyid Ridha sebagai rujukan utamanya.
Pada 1916, ia mendirikan Madrasah Sultaniyyah, madrasah modern atas biaya Sultan Sambas, yang pengajarannya menggunakan bahasa Arab dan semua mata pelajarannya tentang agama.
Kiprahnya di Bidang Politik
Syekh Muhammad Basyuni Imran tercatat aktif dalam kepengurusan Masyumi. Sejak 22 Oktober 1956, Basyuni Imran terpilih sebagai anggota Konstituante. Akrab pula dirinya dengan presiden RI, Sukarno. Bahkan, Bung Karno pernah memberikan hadiah kepadanya berupa peti berukir yang berisikan Al-Qur’an pada acara peringatan Nuzulul Qur’an di Istana Negara, Jakarta.
Pemikirannya
Basyuni Imran sangat dihormati semua ulama yang mengenalnya. Terbukti bahwa Haji Agus Salim, Buya Hamka, dan Prof. Dr. Kahar Muzakkir, ketiga orang hebat itu, mengakui ketinggian ilmu ulama Sambas ini.
Gagasan kritis dan reformisnya sedikit banyak tumbuh berkat pengaruh tulisan-tulisan Rasyid Ridha yang banyak dibacanya dalam Majalah Al-Manar. Hal ini tergambar pada pendahuluan bukunya yang berjudul “Nur As-Siraj fi Qishshah Al-Isra’ wa Al-Mi’raj.”
