Mengenal Syekh Muhammad Basyuni Imran, Maharaja Imam Kesultanan Sambas

Ilustrasi: Ma’had Muhammad Basyuni Imran di Sambas, Kalbar.
PADA Rabiul Akhir 1348 H (1929 H), seorang ulama Melayu adal Sambas, Borneo Barat (sekarang Kalimantan Barat), Syekh Muhammad Basyuni Imran, berkirim surat kepada pemimpin Majalah Al Manar di Mesir, Sayyid Rasyid Ridha.
Dalam suratnya, Syekh Basyuni Imran memuji Syekh Syakib Arslan atas karya-karyanya yang membela Islam. Ia sekaligus mengajukan dua pertanyaan, mengapa umat Islam mundur dan apa sebab Eropa, Amerika dan Jepang maju pesat?
Jawaban atas pertanyaan Syekh Basyuni yang ditulis Syekh Syakib Arslan inilah yang kemudian dicetak menjadi sebuah buku fenomenal berjudul “Limadza Ta’akhara Al-Muslimun wa Limadza Taqaddama Ghairuhum”. Andai tak ada pertanyaan dari Syekh Basyuni, mungkin karya fenomenal Syekh Syakib itu juga tidak akan ada.
Lalu, siapakan Syekh Muhammad Basyuni Imran?
Silsilah Keturunannya
Beliau adalah Syekh Muhammad Basyuni bin Muhammad Imran bin Muhammad Arif bin Imam Nuruddin bin Imam Mushthafa As-Sambasi.
Ulama yang lebih dikenal dengan sebutan Basyuni Imran Maharaja Imam ini dilahirkan pada 25 Oktober 1883 di Sambas, Borneo Barat (kini Kalimantan Barat, Indonesia).
Basyuni Imran adalah pewaris terakhir gelar Maharaja Imam (Khatib Besar, pejabat tertinggi urusan agama) Kesultanan Melayu Sambas.
Pendidikannya
Saat masih sangat kecil, Basyuni Imran ditinggal wafat ibundanya. Ia pun diasuh oleh ibu sambungnya, Badriyah. Kala berusia enam tahun, anak ini mendapatkan pendidikan Al-Qur’an dari ayahnya dan sekaligus mulai menempuh pendidikan di Sekolah Rakyat (Volksschool). Hingga beberapa tahun kemudian, minatnya terbangun untuk mengkaji ilmu tata bahasa Arab, khususnya nahwu dan sharaf.
Usai mengenyam pendidikan dua tahun lamanya di Sekolah Rakyat, ia melanjutkan ke Madrasah al-Sulthaniyah hingga 1898. Sesudah itu, remaja cerdas yang aat itu berusia 17 tahun berkesempatan meneruskan studinya ke Tanah Suci.
Di Makkah al-Mukarramah, usai menunaikan ibadah haji, Basyuni Imran berfokus belajar ilmu-ilmu agama. Guru-gurunya tidak hanya berasal dari kalangan alim Timur Tengah, melainkan juga Nusantara. Di antara mereka adalah Tuan Guru Umar Sumbawa, Tuan Guru Usman Serawak, dan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi.