Menangis dan Ditangisi
Oleh:
Dr. KH. Zakky Mubarak, MA
SETIAP bayi yang lahir dari rahim ibunya datang ke dunia tanpa mengetahui apa pun, kecuali suara tangisnya sendiri. Tangis itu begitu keras hingga terdengar oleh semua orang di sekelilingnya. Namun, tidak ada satu pun yang merasa terganggu. Sebaliknya, para keluarga—ibu, ayah, kakek, nenek, paman, dan lainnya—menyambutnya dengan tawa dan kebahagiaan.
Begitu pula kita dulu. Kita lahir sambil menangis, tetapi orang-orang di sekitar justru tertawa gembira. Tangisan bayi adalah tanda kesehatan dan kesempurnaan. Sebaliknya, bayi yang tidak menangis justru menimbulkan kekhawatiran. Karena itu, dokter atau bidan biasanya berusaha agar bayi tersebut mengeluarkan tangisan sebagai tanda ia baik-baik saja.
Tangisan pertama itu tidak dianggap sebagai gangguan. Setelahnya, bayi disambut dengan berbagai acara penuh syukur. Orang tua mengadakan syukuran, dan pada hari ketujuh dilakukan aqiqah yang dihadiri kerabat, tetangga, dan sahabat. Semua rangkaian ini adalah wujud kebahagiaan besar yang patut disyukuri.
Al-Qur’an menggambarkan bagaimana orang tua memohon kepada Allah agar dikaruniai anak yang sehat, sempurna lahir dan batin:
۞هُوَ ٱلَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفۡسٖ وَٰحِدَةٖ …
“Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur.” (QS. Al-A’raf, 7:189)
Setelah kita lahir, orang tua mendidik dengan penuh kesabaran agar kelak menjadi generasi yang membawa kebaikan bagi sesama. Maka, tugas kita selanjutnya adalah melakukan amal kebajikan yang memberi manfaat seluas-luasnya bagi manusia dan makhluk lainnya.
Jika saat lahir kita menangis dan orang-orang tertawa, maka tugas kita adalah memastikan bahwa saat kita wafat kelak, orang-oranglah yang menangis karena kehilangan, sementara kita tersenyum bahagia karena membawa bekal amal salih.
Meninggalnya seorang ulama diumpamakan seperti matinya alam semesta. Kepergian orang-orang besar selalu ditangisi banyak orang. Dengan demikian, hidup ini seperti permainan dengan skor satu lawan satu. Saat lahir, kita menangis sementara orang sekitar tertawa, skor satu kosong. Maka ketika meninggal, biarlah mereka yang menangis dan kita yang tersenyum—sehingga skornya menjadi seimbang, satu lawan satu.
Jangan sampai seseorang lahir disambut tawa, namun wafat pun kembali disambut tawa, tetapi karena orang merasa lega ia pergi, sebab selama hidup justru menjadi sumber masalah dan ancaman bagi orang lain.
Sebagaimana diungkapkan dalam bait hikmah berikut:
وَلَدَتْكَ أُمُّكَ يَا ابْنَ آدَمَ بَاكِيًا
وَالنَّاسُ حَوْلَكَ يَضْحَكُونَ سُرُورًا
فَاحْرِصْ لِنَفْسِكَ أَنْ تَكُونَ إِذَا بَكَوْا
فِي يَوْمِ مَوْتِكَ ضَاحِكًا مَسْرُورًا
Ibumu melahirkanmu, wahai anak Adam, dalam keadaan menangis, sementara orang-orang di sekitarmu tertawa gembira. Maka usahakanlah, agar ketika mereka menangis pada hari kematianmu, engkau justru tertawa dalam keadaan bahagia.*
