Membaca Terjemah Al-Qur’an dalam Shalat

 Membaca Terjemah Al-Qur’an dalam Shalat

Ilustrasi: seorang bocah mengikuti shalat Idulfitri 1443 H di JIS.

Al-Qur’an adalah susunan perkataan mukjizat, yaitu Kalamullah, yang disifatkan oleh Allah sebagai (yang menggunakan) bahasa Arab. Dan dengan menerjemahkannya hilanglah kemukjizatannya. Terjemahan itu bukan Kalamullah.

Al-Qadhi Abu Bakar Ibnu Al-Arabi, salah seorang fuqaha’ Maliki, ketika menafsirkan firman Allah: “Dan jikalau kami jadikan Al-Qur’an itu suatu bacaan dalam bahasa selain bahasa Arab (bahasa asing), tentulah mereka akan mengatakan, “Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya, apakah bahasa asing atau Arab?” (QS. Fushshilat: 44), ia mengatakan sebagai berikut,

“Para ulama kita mengatakan, ayat ini membatalkan pendapat Abu Hanifah yang menyatakan bahwa menerjemahkan Al-Qur’an dengan bahasa menggantikan bahasa Arabnya dengan bahasa Persia itu boleh. Sebab Allah telah berfirman dalam Surah Fussilat: 44. Dalam ayat ini Allah menafikan jalan bagi bahasa Asing untuk dapat masuk ke dalam Al-Qur’an, tetapi mengapakah Abu Hanifah malah membawanya kepada apa yang dinafikan Allah tersebut?” Bayan dan kemukjizatannya, lanjut Ibnu Arabi, hanya bisa diungkapkan dengan bahasa Arab. Karena itu seandainya Al-Qur’an diganti dengan bahasa selain Arab tentulah penggantinya itu tidak dinamakan Al-Qur’an dan bayan, juga tidak mampu memunculkan kemukjizatan.”

Menurut Al-Hafizh Ibnu Hajar, salah seorang fuqaha madzhab Syafi’i, dalam “Fathul Bari”, jika seseorang sanggup membacanya dalam bahasa Arab, maka ia tidak boleh beralih darinya. Dan shalatnya tidak sah, jika membaca terjemahan tersebut, walaupun ia tidak sanggup membacanya dengan bahasa Arab. Kemudian ia menyebutkan, bahwa Allah dan Rasul-Nya telah memberi jalan sebagai pengganti, bagi mereka yang tidak sanggup membaca dengan bahasa Arab, yaitu zikir.

Dari madzhab Hanbali yang diwakili Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, mendatangkan suatu lafazh untuk menjelaskan makna lafazh-lafazh Al-Qur’an, sama sekali tidak mungkin. Oleh karena itu para tokoh-tokoh agama berpendapat, tidak boleh membaca Al-Qur’an dengan selain bahasa Arab, baik bagi yang mampu membaca dengan bahasa Arab sebab maupun bagi yang tidak mampu, yang demikian akan mengeluarkan Al-Qur’an dari statusnya sebagai Al-Qur’an yang diturunkan Allah.

Ibnu Taimiyah dalam kitabnya, “Iqtidha’ Ash-Shirat Al-Mustaqim”, secara khusus membicarakan perbedaan pendapat para fuqaha’ tentang bacaan-bacaan shalat, bolehkah diucapkan dalam bahasa selain Arab atau tidak? Ia mengatakan, “Menurut jumhur, Al-Qur’an tidak boleh dibaca dengan selain bahasa Arab, baik bagi orang yang mampu maupun bagi orang yang tidak mampu. Inilah pendapat yang benar dan tidak mengandung keraguan. Bahkan banyak yang berpendapat menolak “menerjemahkan” satu surat atau bagian-bagian Al-Qur’an yang mengandung kemukjizatan itu.”

Ibnu Taimiyah menentukan satu surat atau bagian-bagian yang dapat mewujudkan kemukjizatan itu sebagai syarat terhadap adanya tantangan Al-Qur’an yang paling minimal.

Agama mewajibkan kepada para pemeluknya agar mempelajari bahasa Arab, karena bahasa ini adalah bahasa Al-Qur’an. Bahasalah kunci untuk memahaminya. Lagi-lagi menurut Ibnu Taimiyah dalam Al-Iqtidha’,

“Bahasa Arab itu sendiri termasuk bagian agama. Mengetahuinya adalah sesuatu yang wajib, karena memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah fardhu. Keduanya tidak dapat dipahami kecuali dengan memahami bahasa Arab. Sesuatu, yang kewajiban tidak dapat dijalankan secara sempurna kecuali dengannya, maka ia adalah wajib.”

Adapun pendapat madzhab Hanafi tentang bolehnya membaca terjemahan Al-Qur’an dalam shalat, hanya dikhususkan bagi yang tidak mampu sebagai rukhsah (dispensasi). Mereka sependapat bahwa terjemahan Al-Qur’an itu bukan Al-Qur’an. Terjemahan itu dibolehkan semata-mata agar shalat menjadi sah. Dan status terjemahan ini sama dengan status zikir kepada Allah dalam pendapat ulama di luar madzhab Hanafi.

Sedangkan mengenai penerjemahan zikir (bacaan) dalam shalat, baik yang wajib seperti takbiratul ihram maupun bukan, masih diperselisihkan. Zikir yang wajib tidak boleh diterjemahkan menurut Malik, Ishaq, dan Ahmad dalam satu riwayatnya yang paling shahih, tetapi boleh menurut Abu Yusuf, Muhammad dan Asy-Syafi’i.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

fourteen + 3 =