Majikan Telat Bayar Gaji Pekerja, Ingat Pesan Nabi Saw Ini!

 Majikan Telat Bayar Gaji Pekerja, Ingat Pesan Nabi Saw Ini!

Ilustrasi: Pekerja. (pixabay.com)

MAJIKAN, pemilik usaha (owner), atasan, terlambat membayar upah (gaji) kepada pekerja, karyawan, atau buruh, saat ini bukanlah fenomena asing. Baik dalam skala kecil maupun usaha besar hal ini sering terjadi. Bukan hanya di sektor pribadi, rumah tangga, swasta bahkan juga pemerintah.

Sebab keterlambatan itu banyak. Bisa jadi karena majikan kesulitan keuangan karena usaha yang lesu sehingga pendapatan usaha menurun, krisis ekonomi yang mengakibatkan dampak negatif secara sistemis, birokrasi yang ‘njlimet’, rumit dan lambat, atau sebab-sebab lainnya.

Di perusahaan-perusahaan atau lembaga-lembaga yang bonafit, urusan gaji pekerja ini biasanya sudah diselesaikan di awal. Saat pekerja menandatangani kontrak kerja, mereka akan mendapatkan gaji pertamanya. Sehingga ke depan gaji selalu dibayarkan terlebih dahulu. Biasanya gaji ini dibayarkan antara tanggal 25-28 tiap bulannya.

Karena gaji dibayarkan di depan, maka jika ada keterlambatan pembayaran belum pada tahap ‘keringat pekerja mengering.” Sebab mereka juga belum bekerja untuk bulan tersebut.

Persoalan terlambat membayar gaji atau upah kepada pekerja ini bukanlah persoalan ringan. Rasulullah Saw sudah mewanti-wanti kepada umatnya mengenai hal ini lebih dari 1400 tahun yang lalu.

Oleh para ulama, pembahasan tentang upah ini dimasukkan dalam fikih muamalah berkenaan dengan ijarah (sewa menyewa).

Bayarlah Upah Sebelum Keringatnya Kering

Secara istilah, ijarah adalah akad atas manfaat dengan imbalan (kompensasi). Yang menyewakan tenaganya kepada orang lain untuk dikaryakan berdasarkan kemampuannya dalam suatu pekerjaan disebut muajir atau ajir atau pekerja, sedangkan yang membayar disebut musta’jir atau majikan.

Yang termasuk di dalam akad ijarah adalah: (1) Akad untuk memperoleh manfaat barang, seperti menyewa rumah dan kendaraan. Maka yang diakadkan di sini adalah manfaat barang, (2) Akad untuk memperoleh manfaat kerja, seperti menjahit, bekerja di kantor/perusahaan, dan sebagainya yang diakadkan adalah manfaat kerja, (3) Akad untuk memperoleh manfaat orang, seperti pembantu rumah tangga, pengetam padi, office boy, dan sebagainya yang diakadkan adalah pemanfaatan usaha manusia.

Dalam transaksi ijarah, hal-hal yang harus jelas ketentuannya adalah terkait dengan bentuk dan jenis pekerjaan (na’u al-amal), masa kerja (muddatu al-amal), upah kerja (ujratu al ‘amal) dan tenaga yang dicurahkan saat bekerja (al-Juhd alladzi yubdzalu fil ‘amal).

Pertama, bentuk dan jenis pekerjaan. Dalam menentukan bentuk pekerjaan, disyaratkan agar ketentuannya bisa menghilangkan segala kekaburan (persepsi yang bermacam-macam), sehingga transaksi ijarah tersebut berlangsung secara jelas. Misalnya pekerjaan sebagai sopir, office boy, staf administrasi, pengawas, manajer, atau yang lainnya.

Kedua, masa kerja. Dari segi masa kerja yang ditetapkan maka transasksi ijarah, dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu: (1) Ada transaksi yang hanya menyebutkan takaran kerja pekerjaan yang dikontrak saja tanpa harus menyebutkan masa kerjanya, seperti menjahit pakaian dengan model tertentu atau jasa transportasi untuk mengantar sampai ke tujuan; (2) Ada transaksi ijarah yang hanya menyebutkan masa kerjanya tanpa harus menyebutkan takaran kerja, seperti mengontrak seseorang untuk memperbaiki rumah selama satu bulan; (3) Ada transaksi ijarah yang menyebutkan masa kerjanya sekaligus takaran kerjanya.

Ketiga, upah kerja. Upah dalam transaksi ijarah harus jelas, Rasulullah Saw bersabda: “Apabila salah seorang di antara kalian mengontrak (tenaga) seorang ajir, maka hendaknya dia memberitahukan tentang upahnya.” (HR. Ad-Daruquthni dari Ibnu Ma’ud)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *