Lima Sumber Harta Haram Penyelenggara Negara

Ilustrasi: suap.
Rasulullah Saw melarang penyelenggara negara menerima hadiah/hibah. Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abi Humaid as-Sa’idi yang berkata:
Nabi saw mempekerjakan seseorang laki-laki dari bani Asad. Ia adalah Ibnu Atabiyyah, sebagai pengumpul zakat. Seusai melaksanakan tugasnya, Ibnu Atabiyyah datang kepada Rasulullah saw seraya berkata: ‘Ini kuserahkan kepadamu, sedangkan (harta) ini adalah hadiah yang diberikan orang kepadaku.’ Lalu Rasululah saw berdiri di atas mimbar, beliau memuji Allah kemudian bersabda: ’Seorang ‘amil yang kami pekerjakan, kemudian ia datang dan berkata, ‘Ini kuserahkan kepadamu, sedangkan ini adalah hadiah yang diberikan orang kepadaku’. Apakah tidak lebih baik jika ia duduk (saja) di rumah bapak/ibunya, -kemudian dapat mengetahui- apakah ia (akan) diberi hadiah atau tidak. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, salah seorang dari kalian tidak akan mendapatkan sedikitpun dari hadiah itu, kecuali pada hari kiamat ia datang dengan membawa di lehernya seekor unta yang meringkik-ringkik, atau sapi yang melenguh, atau domba yang mengembik’. Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya sehingga kami melihat ketiaknya yang putih. Lalu beliau berdo’a: ‘Ya Allah, apakah aku telah menyampaikan hal ini’. Itu diucapkannya dua kali.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka setiap harta yang dihadiahkan atau dihibahkan kepada para penguasa (wali), para ‘amil, para hakim (qadli) dan pegawai negara, dianggap perolehan yang diharamkan. Bukan hak miliknya, harus dikembalikan kepada pemiliknya, atau disimpan di Baitul Mal kaum Muslim. Sebab, harta itu diperoleh dengan cara yang tidak syar’i.
Ketiga: Harta kekayaan yang diperoleh dengan sewenang-wenang dan dengan tekanan kekuasaan
Adalah harta yang diperoleh para penguasa, para wali, para ‘amil, kroni-kroni mereka, dan para pegawai negara, yang berasal dari harta atau tanah milik negara, harta atau tanah milik masyarakat, yang diperoleh dengan jalan pemaksaan, sewenang-wenang, kekerasan, tekanan kekuasaan dan penyelahgunaan jabatan.
Seluruh harta dan tanah yang berasal dari negara dan masyarakat, melalui cara-cara tersebut di atas dianggap sebagai perolehan yang diharamkan. Tidak boleh dimiliki, karena diperoleh dengan cara yang tidak syar’i.
Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa mengambil sejengkal tanah secara zalim, maka kelak pada hari kiamat ia akan dikalungi Allah dengan (belenggu seberat) tujuh lapis bumi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Aisyah bahwa Nabi saw bersabda: “Barangsiapa yang secara zalim mengambil sejengkal tanah, maka kelak ia akan dikalungi Allah dengan (belenggu seberat) tujuh lapis bumi.” (HR. Muttafaq’alaih)
Harta atau tanah milik masyarakat yang diambil penguasa secara paksa, jika diketahui siapa pemiliknya, maka wajib dikembalikan kepadanya. Namun, jika pemiliknya tidak diketahui, maka dimasukkan ke Baitul Mal.
Jika harta dan tanah itu milik negara, maka seketika itu juga dikembalikan kepada negara. Tindakan seperti ini pernah dilakukan oleh Umar bin Abdul Aziz tatkala menerima tampuk kekhilafahan dengan mengembalikan seluruh harta dan tanah yang diambil bani Umayah dari masyarakat melalui tekanan kekuasaan, kepada Baitul Mal kaum Muslim. Kecuali jika diketahui pemiliknya, maka dikembalikan kepada mereka.