Lima Sumber Harta Haram Penyelenggara Negara

Ilustrasi: suap.
Tirmidzi meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amru yang berkata, Rasulullah Saw bersabda: “Laknat Allah terhadap penyuap dan penerima suap.”
Ahmad meriwayatkan dari Tsauban ia berkata: “Rasulullah Saw melaknat penyuap, penerima suap dan orang yang menyaksikan penyuapan.”
Suap kadang-kadang dipungut sebagai ganti karena telah memperoleh maslahat (berupa keputusan) mengenai suatu kepentingan yang semestinya diputuskan tanpa perlu balas jasa, karena sudah menjadi kewajiban orang itu untuk menyelesaikan/mengurusnya.
Kadangkala suap diambil karena tidak mengerjakan suatu kewajiban yang seharusnya dikerjakan. Juga suap diambil sebagai imbalan atas suatu pekerjaan yang dilarang negara. Seluruhnya tidak ada perbedaan, apakah akan mendatangkan maslahat ataukah mudlarat.
Seluruh harta yang diperoleh dengan cara suap adalah harta haram dan bukan harta miliknya. Jadi harus dikembalikan (kepada pemiliknya), atau disita dan disimpan di Baitul Mal, karena diperoleh dengan cara yang tidak syar’i. Sedangkan pelakunya harus mendapat hukuman, baik yang menyuap, yang disuap maupun perantara keduanya.
Kedua: Hadiah atau Hibah (Gratifikasi)
Hadiah/hibah adalah harta yang diberikan kepada para penguasa (wali), para ‘amil, hakim (qadli), dan para pegawai negara, dengan cara memberikannya sebagai hadiah atau hibah.
Tindakan ini serupa dengan suap. Tidak boleh seorang penguasa (wali), ‘amil, qadli dan pegawai negara menerimanya.
Meskipun pihak yang memberi hadiah atau hibah tersebut pada saat itu tidak mempunyai kepentingan yang hendak diperolehnya, namun ia ingin memperoleh penghargaan dan penilaian istimewa, atau ingin memperoleh suatu kepentingan di kemudian hari.
Hadiah atau hibah yang diberikan kepada para penguasa (wali), para ‘amil, para hakim (qadli), dan pegawai negara sama dengan perbuatan curang (ghulul). Dan tempat bagi orang yang curang adalah neraka.