Larangan dalam Tasharruf Harta: Israf-Tabdzir, Taraf dan Bakhil

 Larangan dalam Tasharruf Harta: Israf-Tabdzir, Taraf dan Bakhil

Ilustrasi

Yang dimaksud mutrafun di sini adalah orang-orang yang perkasa lagi mewah.

Taraf menurut bahasa itu artinya bathar (lupa diri) dan ghathrasah (sombong) karena kemewahan. Dikatakan: tarafahu dan atrafahu almal; artinya abtharahu wa afsadah (dia dimabuk dan dirusakkan oleh harta). Dan atrafa ar-rajul, artinya asharra ‘alal baghy (dia bergelimang dalam kesesatan).

Istatrafa, artinya taghathrasa (besar kepala). Atas dasar itu, jelaslah bahwa taraf yang dicela Al-Qur’an, diharamkan Allah dan dijadikan sebagai dosa. Ialah, taraf yang menurut bahasa berarti bathar (lupa diri) karena kemewahan; dan ghathrasah (sombong) karena kemewahan, bukan hanya kemewahan saja.

Oleh sebab itu, maka salah bila taraf ditafsirkan sebagai menyenangi harta dan menikmati apa yang direzekikan Allah. Sebab, menyenangi dan menikmati apa yang direzekikan Allah itu tidak dicela oleh syara’. Allah berfirman:

قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِيْنَةَ اللّٰهِ الَّتِيْٓ اَخْرَجَ لِعِبَادِهٖ وَالطَّيِّبٰتِ مِنَ الرِّزْقِۗ قُلْ هِيَ لِلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا

“Katakanlah: ‘Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan siapa pulakah yang mengharamkan rezeki yang baik? Katakanlah: ‘Semuanya itu disediakan bagi orang-orang yang beriman…” (QS. Al-A’raf [7]: 32)

Berkata Rasulullah Saw: “Sesungguhnya Allah senang melihat bekas nikmat-Nya atas hamba-Nya.”

Maknanya: Dia senang bila hamba-Nya menyenangi nikmat Allah dan menikmati rezeki yang baik-baik yang dikaruniakan kepadanya oleh Tuhan semesta alam. Akan tetapi, Allah SWT membenci kemewahan yang menghasilkan lupa diri, kesesatan, kesombongan dan kegarangan.

Ketiga: Islam melarang individu untuk bakhil terhadap dirinya dan untuk mengharamkan atas dirinya harta yang disahkan, dan menghalalkan untuk menikmati rezeki yang baik baik dan mengenakan perhiasan yang layak. Rasulullah Saw berkata:

“Bila Allah mengaruniakan harta kepadamu, maka Dia hendak melihat bekas nikmat-Nya dan kemurahan-Nya kepadamu.” (HR. Abu Dawud)

Bila seseorang mempunyai harta, tetapi dia bakhil terhadap dirinya, maka dia itu berdosa bagi Allah Ta’ala. Sedang bila dia bakhil terhadap orang yang wajib diberi nafkah, maka di samping dia berdosa atas perbuatannya itu di sisi Allah Ta’ala, dia dipaksa oleh negara untuk menafkahi keluarga yang wajib diberi nafkah.

Nafkah terhadap keluarga yang wajib diberi nafkah ini hendaklah merupakan jaminan dan memadai, sehingga mereka (keluarga) memperoleh tingkat kehidupan yang baik. Allah Ta’ala berfirman:

لِيُنْفِقْ ذُوْ سَعَةٍ مِّنْ سَعَتِهٖۗ

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya.” (QS. Ath-Thalaq [65]: 7)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

two × two =