Krisis Pangan Gaza dan Kilas Balik Peradaban Islam

 Krisis Pangan Gaza dan Kilas Balik Peradaban Islam

Ilustrasi: Anak-anak Palestina di Gaza utara.

KRISIS kemanusiaan di Gaza saat ini, khususnya krisis pangan, merupakan salah satu tragedi terbesar abad ini. Blokade total, serangan militer berkepanjangan, dan hancurnya insfrastruktur menyebabkan warga sipil terutama anak-anak dan lansia menghadapi kelaparan yang ekstrem.

Dilansir dari metrotvnews.com (20/04) menyebutkan, setidaknya ada dua juta orang tanpa sumber pendapatan apapun di Gaza, dan sepenuhnya bergantung pada bantuan kemanusiaan untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka. Program Pangan Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (WFP) sangat prihatin atas stok pangan yang terus menurun tajam akibat penutupan perbatasan oleh israel sehingga pengiriman pasokan pangan terhenti.

Sungguh miris, kondisi krisis pangan Gaza ini memaksa mereka untuk memakan daging kura-kura untuk memenuhi kebutuhan protein mereka, yang sebelumnya tidak pernah terbayang akan terjadi (cnnindonesia.com, 19/04/2025). Bahkan sebelumnya warga harus bertahan hanya dengan segenggam tepung atau air garam (minanews.net, 09/11/2024), dan terpaksa makan pakan ternak (Kompas.com, 20/02/2024).

Kecaman dunia atas penderitaan kaum muslim di Gaza sampai hari ini tak dihiraukan. Penguasa muslim, PBB, lembaga internasional dan negara besar terbelenggu oleh kepentingan diplomatik dan kekuasaan. Meski umat Islam hari ini sudah menyerukan jihad sebagai solusi, tak mampu menggerakkan militer mereka akibat adanya ikatan nasionalisme warisan penjajah. Akhirnya umat muslim dunia takkan bisa bersatu untuk menolong saudaranya di Gaza.

Ironisnya, kondisi ini mengingatkan kita betapa kondisi umat muslim hari ini menjadi negeri yang terjajah bukan umat terbaik. Bahkan menolong saudaranya yang kelaparan tak bisa tuntas sampai hari ini. Berbeda saat mercusuar peradaban islam menjulang tinggi di bawah kepemimpinan Khilafah dahulu dalam menyikapi Krisis pangan.

Terkisah pada masa Umar bin Khattab (18H), saat terjadi tahun kelaparan (Amur Ramadah). Ketika itu jazirah Arab dilanda kekeringan dan kelaparan. Khalifah Umar memobilisasi makanan dari berbagai wilayah lain, seperti Mesir dan Syam untuk membantu rakyat Madinah. Bahkan, ia menolak memakan daging atau lemak sampai seluruh rakyatnya bisa menikmati kembali pangan yang layak. Umar juga mendirikan dapur umum (ma’unah) yang memberi makanan gratis setiap hari (Al-Bidaya wa’l-Nihaya, karya Ibn Katshir). Hal ini bisa terjadi tanpa sekat nasionalisme dan adanya pemimpin serta kepemimpinan yang Amanah.

Peradaban Islam juga mengukir sejarah tentang betapa empatinya negara kepada kondisi internasional diluar wilayahnya yang mengalami krisis pangan.

Dalam buku yang berjudul “The History of the Ottoman Empire” oleh Douglas A. Howard menceritakan, ketika itu terjadi di masa Sultan Abdul Hamid II, kekhilafah Utsmaniyah. Pada akhir abad ke-19, ketika Irlandia dilanda kelaparan besar, Sultan Abdul Majid menawarkan bantuan 10.000 pound untuk rakyat Irlandia. Meski pemerintahan Inggris hanya mengizinkan menerima bantuan sebesar 1.000 pound, Khalifah tetap menyumbang secara diam-diam dan mengirim tiga kapal makanan ke pelabuhan Drogehda.

Sungguh krisis Gaza butuh lebih dari sekedar doa dan kecaman. Gaza butuh persatuan umat dan mengembalikan peradaban islam yang akan bersikap adil, cepat, menyeluruh dalam menyelesaikan krisis pangan sebagaimana telah dilakukan oleh para pemimpin terdahulu. []

Muthiah Raihana, Praktisi Pendidikan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

thirteen − 12 =