Kisah Aktivis Salman ITB, Penemu Teknologi 4G LTE

 Kisah Aktivis Salman ITB, Penemu Teknologi 4G LTE

CIVILITA.COM – Di negara-negara maju, teknologi Long Term Evolution (LTE) sudah bisa dicicipi sejak lama. Sedangkan Indonesia, baru menggelarnya di tahun 2014. Itu pun ketersediaannya belum meluas. Meski demikian, adanya jaringan generasi keempat ini memunculkan harapan koneksi internet lebih cepat.
Terlepas dari itu, kita patut bangga karena di balik teknologi 4G LTE, penemunya orang Indonesia. Adalah Dr. Eng. Khoirul Anwar, penemu sekaligus pemilik paten teknologi 4G berbasis OFDM (Orthogonal Frequency Division Multiplexing).
Kelahiran Kediri 1978 ini menciptakan sebuah teknologi transmitter yang saat ini lebih dikenal dunia dengan sebutan teknologi 4G. Teknologi broadband ini menjadi standard internasional ITU, baik untuk sistem teresterial (di bumi) maupun satelit (di luar angkasa).

Ingin Jadi ‘The Next Einstein’
Sejak kecil, Khoirul punya minat tinggi terhadap sains. Hampir semua buku-buku sains dilahapnya. Di sela-sela waktu belajarnya, Khoirul kecil sangat suka membaca buku teori ilmuwan ternama seperti Albert Einstein dan Michael Faraday, bahan bacaan yang terbilang ‘berat’ bagi anak sesusianya. Putra pasangan suami istri Sudjiarto dan Siti Patmi ini bermimpi tinggi ingin menjadi the next Einstein dan Faraday yang bisa menciptakan teori baru.
Cita-cita luhurnya nyaris gagal karena terbentur sulitnya keadaan. Pada 1990, ayah Khoirul meninggal dunia ketika dirinya baru lulus sekolah dasar. Namun tekadnya justru semakin kuat untuk sekolah setinggi-tingginya. Saat bersekolah di SMAN 2 Kediri, Khoirul berusaha keras menghemat pengeluaran agar ibunya tak terbebani.
Dia sempat jatuh sakit karena terlalu irit makan. Prestasinya di sekolah pun menurun. Namun semua jerih payah itu terbayar ketika pada akhirnya dia lulus Teknik Elektro (Telekomunikasi) dari Institut Teknologi Bandung (ITB). Dia lulus pada 2000 sebagai salah satu wisudawan terbaik.
Setelahnya, Khoirul berjuang memperoleh beasiswa magister yang ditawarkan Panasonic Jepang. Dia memang memperoleh beasiswa tersebut, sayangnya tak lolos seleksi universitas yang diinginkannya di Tokyo. Dia juga gagal dalam ujian bahasa Jepang.

Lagi-lagi, kerja kerasnya memperlihatkan hasil. Dia merampungkan S2-nya di NAIST (Nara Institute of Science and Technology NAIST) pada 2005 dan S3-nya di kampus yang sama di 2008.

Aktivis Salman ITB

Tumbuh dari lingkungan aktivis dakwah di Masjid Salman ITB, menjadikan Khoirul Anwar tetap tak bisa lepas dari dunia dakwah meski berada di negeri orang. Kesibukan riset di laboratorium tak melalaikannya dari tugasnya selaku kepala keluarga dan dai. Baginya, ganbattero (istilah Jepang yang berarti kerja keras) di dalam lab cukup Senin hingga Jumat. Sementara dua hari lainnya, waktu bersama keluarga dan dakwah.

Begitulah ayah dari empat anak ini mengatur hari-harinya. Katanya, kebiasaan itu sudah ia terapkan sejak menempuh pendidikan master dan doktornya di Nara Institute of Science and Technology (NAIST), Jepang. “Kalau pun pada hari itu (Sabtu dan Minggu) harus ke lab, karena memang ada yang urgen. Misalnya besoknya harus mengikuti sebuah seminar. Itu pun hanya 1 jam,” papar suami dari Sri Yayu Indriyani ini.

Kebiasaannya itu berbeda dengan kebanyakan mahasiswa lainnya. Kalau mereka, kata Khoirul, Sabtu dan Minggu tetap ke lab. “Kalau saya hari Senin hingga Jum’at fokus pada riset, sebab saya tahu hanya pada hari itu saya bisa melakukannya,” tuturnya. Meski begitu, dari segi prestasi akademik Khoirul tetap melebihi yang riset dari Senin hingga Senin lagi.

Dalam berdakwah, terang Khoirul, dirinya tak terbatas hanya kepada kalangan Muslim dari Indonesia. Beberapa kali, dirinya diminta untuk menjelaskan tentang Islam kepada orang Jepang. Menurut Khoirul, keingintahuan orang Jepang terhadap Islam cukup tinggi. Ini menjadi tantangan bagi para dai untuk menjelaskan Islam kepada orang Jepang.

“Dalam Hadits dikatakan barangsiapa kita bisa mengislamkan satu orang saja itu lebih baik dari unta merah. Bahkan, dalam Hadits lain kebaikannya lebih dari dunia dan seisinya,” gugah putra pasangan Sudjianto dengan Siti Patmi ini.

Hanya saja, terang Khoirul, orang Jepang ini merasa lebih tinggi dari segi pendidikan dan ekonomi dibanding bangsa lain. Dengan keyakinan itu di antara orang Jepang mengatakan, “Kami sudah maju dan lebih baik dari kalian. Apakah kami masih harus beragama Islam?”

Khoirul bercerita, pernah suatu hari dirinya diminta menjelaskan Islam kepada orang Jepang di daerah Kobe. Kawannya yang mengundang bilang, “Orang Jepang itu hanya mau mendengarkan orang yang lebih pintar. Kalau mereka tahu Mas Khoirul orang pintar, mereka baru mau mendengarkan.” Khoirul yang awalnya tidak menampilkan beberapa penghargaan prestasi akademiknya, akhirnya mengikuti saran kawannya itu.

Benar saja. Beberapa orang Jepang nampak antusias mengikuti penjelasan Khoirul tentang Islam. Sampai acara berakhir, mereka tak putus-putus bertanya.* [muis/dbs]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *