Ketum PBNU: Lihat Palestina Harus sebagai Satu Negara Kesatuan

Ilustrasi: Seorang gadis kecil membungkus dirinya dengan bendera Palestina setelah pengumuman kesepakatan mengenai fase pertama gencatan senjata di Gaza, di wilayah tengah Gaza. [Mahmoud Issa/Reuters]
Jakarta (Mediaislam.id) – Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf alias Gus Yahya menegaskan pentingnya dunia melihat Palestina sebagai satu negara kesatuan.
Pernyataan tersebut disampaikan Yahya menanggapi penarikan pasukan Israel dari Jalur Gaza, Palestina, yang diusulkan Presiden AS Donald Trump untuk mengakhiri perang di wilayah tersebut.
“Percuma kita bicara tentang solusi di dua negara kalau kita tidak bisa berpikir sebagai satu kesatuan, ini yang ingin menjadi arah perjuangan kita ke depan untuk bangsa Palestina,” kata Yahya di Jakarta, Jumat (10/10/2025) dilansir dari ANTARA.
Yahya mengatakan, seluruh umat beragama patut bersyukur karena setidaknya kekerasan bagi rakyat di Gaza berhenti.
“Sudahilah, kekerasan berhenti dulu, jangan lagi ada orang terluka apalagi orang mati. Soal keadilan, mari nanti kita urus nanti, yang paling utama itu hentikan kekerasan,” kata dia.
Yahya juga meminta perhatian kepada seluruh masyarakat di dunia agar tidak hanya fokus memperhatikan Jalur Gaza, tetapi juga masyarakat di Tepi Barat Palestina.
“Jangan cuma Gaza, tetapi juga di Tepi Barat karena namanya perundungan kemanusiaan itu juga terjadi sangat parah di sana, maka Palestina sendiri ini harus dilihat sebagai satu kesatuan,” tuturnya.
Sebagai informasi, Zionis Israel telah mulai menarik pasukannya secara bertahap dari Jalur Gaza, Palestina, pada Jumat dan akan mundur sepenuhnya dalam 24 jam ke lokasi yang telah disepakati.
Baca juga: Gencatan Senjata, Dalam 24 Jam Tentara Zionis Israel Akan Mundur Sepenuhnya dari Gaza
Pada Kamis (9/10) pagi, Trump mengumumkan bahwa Israel dan kelompok perlawanan Palestina Hamas telah mencapai kesepakatan mengenai tahap pertama rencana gencatan senjata dan pertukaran tawanan.
Kesepakatan itu dicapai dalam perundingan tidak langsung antara kedua pihak yang bertikai di Sharm el-Sheikh, Mesir, dengan partisipasi delegasi dari Turki, Mesir, dan Qatar, di bawah pengawasan AS.[]