Kemenag Tengah Garap Penerjemahan Qur’an ke Bahasa Betawi
Jakarta (MediaIslam.id) – Kementerian Agama tengah mengerjakan penerjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa Betawi. Sebelumnya, juga telah dilakukan penerjemahan Al-Qur’an ke berbagai bahasa daerah di Indonesia.
“Salah satu indikator penting dalam moderasi beragama adalah apresiasi terhadap budaya dan kearifan lokal. Orang-orang sering mengatakannya from local to global, dari bahasa daerah kita bawa ke dunia,” kata Kepala Badan Litbang dan Diklat Kemenag Amien Suyitno di Jakarta, Kamis (11/07/2024).
Suyitno mengatakan, penerjemahan ke bahasa Betawi yang dilakukan sudah mencapai 15 Juz Al-Qur’an dalam waktu empat bulan. Penerjemahan ke bahasa daerah juga merupakan langkah penting dalam melestarikan budaya lokal melalui pendekatan keagamaan.
Adapun alasan penerjemahan itu karena bahasa Betawi adalah bahasa yang familiar di kalangan masyarakat. Oleh karena itu, penggunaan bahasa yang tepat dan sesuai sangat penting untuk memastikan tidak terjadi kesalahan saat diterbitkan.
“Selain melibatkan ahli bahasa lokal, penerjemahan Al-Qur’an juga perlu memperhatikan sisi penafsiran. Tidak sekadar menerjemahkan, tetapi harus melibatkan ahli tafsir,” ujarnya.
Kepala Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi (LKKMO) Moh. Isom mengatakan proses penerjemahan dilakukan secara hati-hati, termasuk dari segi pemilihan dikasi agar terhindar dari kesalahan.
Ia menjelaskan pemilihan bahasa Betawi sebagai terjemahan Al-Qur’an didasari oleh tiga hal. Pertama, bahasa Betawi termasuk dalam bahasa daerah di Indonesia yang paling banyak jumlah penuturnya.
“Terdapat hampir lima juta penutur bahasa Betawi. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa tersebut komunikatif, asik, dan dinamis. Masyarakat penuturnya bukan hanya di Jakarta, tetapi meluas sampai ke Bekasi, Depok, Karawang dan Tangerang,” kata dia.
Kedua, kata Isom, banyak kosakata bahasa Betawi yang terancam punah bahkan sudah menghilang dan tidak dikenal lagi oleh generasi kekinian.
“Beberapa faktor penyebabnya antara lain tergusurnya kampung-kampung Betawi di Jakarta, arus modernisasi yang menggerus bahasa lokal. Selain itu, adanya perkawinan lintas etnis yang memungkinkan keluarga tidak lagi menggunakan bahasa daerahnya,” kata dia.