Karhutla Akibat El Nino Tak Kunjung Usai, Apa Solusinya?

 Karhutla Akibat El Nino Tak Kunjung Usai, Apa Solusinya?

Ilustrasi: Kebakaran hutan.

Menko Marves Ad Interim Erick Thohir memamerkan prestasi Indonesia dalam mengatasi masalah kebakaran hutan dalam Konferensi COP28 yang berlangsung di Dubai, Kamis (30/11/2023). Dipaparkan data bahwa titik api telah berkurang secara signifikan hingga 82 persen. Dari 1,6 juta hektar (ha) pada tahun 2019 menjadi 296 ribu hektar (ha) pada tahun 2020.

Dalam forum tersebut Erick juga memamerkan kepemimpinan Indonesia dalam bidang iklim. Dalam fenomena El Niño Moderat di tahun ini, hanya 16% dari total kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang disebabkan oleh kebakaran gambut. Selain itu, kebakaran tahun ini tidak menimbulkan kabut asap lintas batas.
Tak Melintasi Batas, Rakyat Tetap Sesak Napas
Meski karhutla di tahun ini tidak sampai menimbulkan kabut asap ke negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Sayangnya masyarakat yang berada di wilayah rawan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tetap merasakan dampaknya.
Dampak yang dirasakan masyarakat beragam, mulai dari terhambatnya aktivitas akibat jarak pandang yang terbatas hingga masalah kesehatan seperti Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA).
Data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) juga menunjukkan peningkatan penderita ISPA akibat karhutla. Sebanyak 919 ribu orang mengalami ISPA di enam provinsi, yaitu Riau, Sumsel, Jambi, Kalbar, Kalteng, dan Kalsel. Riau dan Kalteng sudah menetapkan keadaan darurat akibat asap. (VOA Indonesia, 23/9/2023).
El Nino Makin Rajin, Karhutla Makin Sering?
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) melaporkan luas kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia selama Januari-Oktober 2023 mencapai 994.313,14 hektar. Jika menelisik data 10 tahun terakhir, peristiwa kebakaran hutan dan lahan (karhutla) hebat yang terjadi di Indonesia pada tahun 2015, 2019, dan 2023 yang disebabkan oleh fenomena El Niño.
Salah satu lembaga penelitian di Australia, The Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation (CSIRO) dalam situsnya memaparkan analisis dari simulasi iklim selama ratusan tahun. Hasil simulasi yang dilakukan memperkuat dugaan bahwa emisi Gas Rumah Kaca (GRK) menjadi penyebab kejadian El Niño yang kuat menjadi lebih sering terjadi. El Niño yang kuat ini berkontribusi terhadap kekeringan, banjir, gelombang panas, kebakaran hutan, dan badai yang lebih ekstrem dan sering terjadi di seluruh dunia.
Data dari Climate Watch menunjukkan penghasil emisi Gas Rumah Kaca (GRK) terbesar beberapa dekade ini adalah negara industri seperti Cina, Amerika Serikat, dan India. Di sisi lain jika ditinjau dari segi sektor, penghasil emisi Gas Rumah Kaca (GRK) terbesar, antara lain sektor energi (73,2%), agrikultur, hutan, & lahan (18,4%), dan industri (5,2%). 24,2% emisi dari total sektor energi dipergunakan untuk kepentingan industri.
Sektor industri menghasilkan emisi karbon yang besar disebabkan dalam setiap prosesnya menghasilkan sisa-sisa proses yang berbentuk zat-zat dan limbah polutan (Suma’mur, 1998).
Para pengusaha enggan mengeluarkan biaya yang besar untuk pengelolaan limbah hingga limbah tersebut benar-benar aman bagi lingkungan. Hal ini disebabkan oleh paradigma ekonomi kapitalisme yang menekankan untuk meraih keuntungan semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

seven − 3 =