Kampus dan Peradaban Islam
Oleh Rika Arlianti DM
Berbicara tentang kampus, pastinya berkaitan dengan dunia perkuliahan. Kampus sebagai lembaga pendidikan tinggi, selayaknya mampu membangun karakter mahasiswa sebagai wadah kaderisasi calon-calon pemimpin bangsa di masa yang akan datang.
Sejatinya kampus merupakan salah satu pusat peradaban. Jika berbicara tentang sebuah peradaban, pastinya berfokus pada ideologinya. Namun sudah menjadi rahasia umum, saat ini kehidupan kampus mengalami pergeseran ideologi. Sehingga mahasiswa melupakan perannya sebagai agent of change, sebab teralih oleh eksistensi diri. Sibuk menganalisis, tapi lupa introspeksi. Padahal mahasiswa adalah agen perubahan yang dapat memberikan solusi bagi permasalahan yang dihadapi oleh suatu masyarakat bangsa di berbagai belahan dunia. (Chakim, 2012).
Mahasiswa sebagai agent of change (agen prubahan)
Mahasiswa dituntut berpikir kritis dan peka terhadap masalah yang dihadapi dalam masyarakat, sehingga mampu memberi aspirasi sebagai wujud kepedulian dalam mengatasi permasalahan, bukan sebagai batu loncatan untuk mengejar popularitas.
Ironisnya saat ini, mahasiswa menjunjung tinggi egoisme individu. Akibatnya, mahasiswa yang harusnya menjadi agent of change dalam lingkungan masyarakat, malah menjadi sumber masalah yang meresahkan masyarakat. Mengapa demikian? Karena sikap apatisme yang mengakar, lemahnya cakrawala berpikir, dan ideologi Islam yang kini sedang kehilangan jati diri pada tubuh mahasiswa.
Idealnya mahasiswa harus mampu melakukan perubahan positif secara langsung dalam kehidupan masyarakat untuk bangsa, negara, dan agama. Seperti Fatimah Al Fihri, muslimah cerdas, visioner, dan berinovasi yang mendedikasikan ilmu, pikiran, waktu, dan hartanya untuk kepentingan umat, khususnya dalam bidang pendidikan. Beliau adalah pendiri universitas pertama di dunia, Universitas Qarawiyyin di Maroko pada tahun 859 M yang pada saat itu, dunia Barat masih tertatih-tatih dalam kegelapan. (muslimahnews.net)
Banyak tokoh besar terlahir dari universitas tersebut, salah satunya pakar matematika Abu Al Abbas. Ibnu Bajah, pakar bahasa Arab sekaligus seorang dokter. Ibnu Khaldun, sosiolog termasyhur, dan beberapa tokoh lainnya.
Mahasiswa sebagai iron stock dan moral of force
Mahasiswa adalah calon pemimpin masa depan. Dari kampus lahir sumber daya manusia yang nantinya akan menjadi nahkoda sebuah bangsa, negara, dan agama. Untuk menjadi pemimpin, tidak cukup dengan hanya bermodal akademisi, tapi wajib memiliki wawasan luas, intelektualitas, akhlak yang baik dan tentu saja bukan penganut islamofobia yang menjadikan kapitalisme sebagai pusat peradaban.
Menjadi mahasiswa bukan berarti sekadar mengejar gelar sarjana. Mahasiswa juga harus mengembangkan soft skill seperti leadership, kemampuan memosisikan diri, sensitivitas yang tinggi, dan kemampuan berkomunikasi yang baik. Seperti kisah Yazid bin Muawiyah, dalam kitab Al Bidayah wa An Nihayah disebutkan bahwa dia termasuk tabi’in angkatan pertama. Dari proses pendidikannya, Yazid menjadi ahli syair yang fasih, tokoh sastra yang cerdas, pandai mengambil sikap, cepat tanggap, dan memiliki moral of force (akhlak baik). Yazid juga diajarkan seni berinteraksi dengan masyarakat dan tegur sapa kepada mereka dalam berbagai kesempatan. Hingga pada 49 H, Yazid bin Muawiyah diamanahkan untuk memimpin pasukan menyerbu Konstantinopel.
Islam bertahan selama 1300 tahun (setelah wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) dengan segala pencapaian gemilang karena menjadikan Islam sebagai pusat peradaban. Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitabnya Ad-Daulah Al-Islȃmiyah (1953) halaman 128 menuliskan: “… Semua bangsa dan umat yang dibebaskan tunduk kepada Islam dalam waktu yang sangat singkat. Padahal alat-alat dan sarana penyebarannya sangat terbatas, yakni hanya lidah dan pena …”.
Tidak bisa dinafikan, Islam telah mengalami kemunduran terutama di indonesia karena menerapkan paham demokratis yang berkiblat pada dunia Barat, sehingga menyebabkan banyak masalah. Berangkat dari sini, beragam kontribusi mahasiswa muslim sangat dibutuhkan untuk bisa kembali mengangkat peradaban Islam ke daratan. Seperti melalui akses informasi yang menyeluruh, penguasaan teknologi, serta jiwa relawan dalam kerja-kerja jamaah.
Upaya yang dapat dilakukan mahasiswa
Pastinya harus dimulai dari kesadaran individu. Sadar akan perannya, bertanggung jawab dalam mengemban amanah, menjadi problem solving yang baik, serta mampu mengelola potensi diri dan orang-orang di sekitarnya. Secara garis besar, yaitu melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar, menyuarakan aspirasi. Berani mengoreksi penguasa tatkala merampas hak rakyat, melanggar aturan, dan bertentangan dengan agama. Serta menjadikan diri sebagai teladan atau cerminan yang baik untuk orang lain dan masyarakat sekitar.
Sadar akan generasi penerus bangsa sangat tergantung dengan spirit pemuda, yang sebagian besar terlahir dari kampus-kampus yang tersebar di seluruh nusantara. Maka dari itu, sebagai mahasiswa yang mencerminkan kaum intelektual, khususnya mahasiswa muslim, sudah sepantasnya sadar diri. Bangkit dari zona nyaman, kembali mengambil peran, asah segala potensi dalam diri. Kerahkan semua kemampuan untuk kepentingan bangsa, negara, dan agama. Jangan terlena dengan kesibukan dunia, hingga lalai menyiapkan bekal akhirat. Wallahu a’lam.*