Jumpa Sesama Muslim: Jabat Tangan, Senyum dan Wajah Berseri

Ilustrasi
SEORANG muslim ketika berjumpa dengan muslim lainnya haruslah menampakkan adab sesuai dengan Islam.
Di antara adab-adab saat berjumla dengan sesama muslim adalah saling berjabat tangan, tersenyum dan nmenampakkan wajah berseri.
Disunahkan Berjabat Tangan
Imam An-Nawawi Rahimahullah berkata, “Atas kesepakatan para ulama, berjabat tangan ketika bertemu (berpapasan) hukumnya sunnat.”
Dari Anas bin Malik Ra, dia berkata, “Seorang lelaki bertanya, “Ya Rasulullah, bila salah seorang dari kita bertemu dengan temannya apakah ia harus menundukkan kepala?” Rasulullah menjawab, “Tidak!” Kemudian laki-laki itu melanjutkan pertanyaannya, “Apakah dia harus merangkul dan menciumnya?” Rasulullah kembali menjawab, “Tidak!” Laki-laki itu bertanya lagi, “Lalu haruskah ia berjabat tangan?” Rasulullah menjawab, “Ya, jika dia mau.” (Diriwayatkan oleh At Tirmidzi)
Sebagai syahidnya (saksi) untuk memperkuat, berikut ini ada sebuah riwayat dari Anas secara marfu dengan lafaz: “Janganlah lelaki menundukkan kepala kepada lelaki lain, dan jangan (pula) merangkulnya.” Lalu para sahabat bertanya, “Apakah lelaki itu berjabat tangan dengannya?” Rasulullah menjawab, “Ya.” Dari Anas Ra, katanya, “Dulu para sahabat Nabi Saw jika saling bertemu, mereka berangkul-rangkulan.” (Diriwayatkan oleh Ath Thabari dalam “Al Ausath” dengan isnad yang baik dan semua perawinya shahih).
Tentang keutamaan berjabat tangan, diterangkan dalam hadits Hudzaifah berikut ini:
Hudzaifah Ra berkata, “Rasulullah Saw pernah bertemu denganku, lalu beliau bersabda: “Hai Hudzaifah, kemarikan tanganmu.” Namun aku tetap menggenggam tangan (tidak mau mengulurkannya) sampai untuk yang kedua dan ketiga kalinya Nabi Saw bersabda seperti itu. Maka (selanjutnya) Rasulullah bertanya kepadaku, “Apa yang menghalangimu?” Aku menjawab, “Sesungguhnya aku (sedang) junub (hadats besar).” Lalu beliau bersabda: “Sesungguhnya bila seorang mukmin bertemu dengan sesama mukmin, lalu memberi salam kepadanya dan mengambil tangannya untuk berjabat tangan, maka kesalahan-kesalahan keduanya berguguran seperti bergugurannya daun pepohonan.” (Dikeluarkan oleh Ath Thabari dalam “AI Ausath”)
Disunnatkan Tersenyum dan Wajah Berseri-Seri
Dari Abu Dawud, ia telah berkata, “Aku pernah bertemu dengan Al Baraa’ bin Aazib Ra. Lalu ia mengucapkan salam kepadaku dan mengambil tanganku (untuk berjabat tangan) dan ia pun tersenyum padaku, kemudian berkata, “Tahukah kamu, kenapa aku melakukan ini terhadapmu?” Aku (Abu Dawud) menjawab, “Aku tidak tahu, tetapi kulihat engkau melakukannya untuk suatu kebaikan.” Maka Al Baraa’ bin Aazib Ra berkata, “Rasulullah Saw pernah bertemu denganku. Beliau berbuat terhadapku seperti apa telah aku perbuat terhadapmu. Rasulullah lalu bertanya kepadaku, dan aku pun menjawab, “Seperti yang telah engkau sabdakan kepadaku.” Kemudian beliau bersabda:
“Dua orang muslim yang bertemu, lalu salah seorang dari keduanya memberi salanm kepada temannya dan mengambil tangannya (untuk berjabat tangan), dan ia mengambil tangan (teman)nya itu semata-mata hanya karena Allah (bukan riya karena dia kaya atau orang berpangkat), maka keduanya tidak akan berpisah sehingga Allah mengampuni dosa-dosa (kecil)nya.” (Dikeluarkan oleh Imam Ahmad dan dihasankan oleh Al Albani. Abu Dawud dan At Tirmidzi meriwayatkannya secara marfu).
Dalil lain yang menetapkan sunnatnya tersenyum dan dengan wajah ceria ketika bertemu adalah apa yang diriwayatkan oleh Jabir bin Salim Al Hujaimi Ra. la berkata, “Saya pernah berkata, “Ya Rasulullah, kami adalah orang desa. Maka ajarkanlah kepada kami sesuatu yang dengannya Allah dapat memberi manfaat kepada kami.” Lalu beliau bersabda:“Bertakwalah kepada Allah dan janganlah engkau sekali-kali meremehkan kebaikan meskipun engkau harus mengosongkan timbamu ke tempat orang yang minta minum, dan hendaklah engkau temui saudaramu (sesama muslim) dengan wajah gembira.” (Dikeluarkan oleh Ath Thayalisi dengan susunan yang berbeda dari Imam Ahmad, Abu Dawud, An Nasa’i, Al Baghawi, Ibnu Hibban dan yang lainnya).
Sementara itu Habib bin Tsabit berkata, “Termasuk dari budi pekerti seorang lelaki ialah berbicara dengan temannya dengan wajah menghadap kepadanya.”
Al Ghazali berkata, “Di dalam hadits itu terdapat tanggapan/kritikan terhadap setiap orang ‘alim atau hamba yang bermuka masam dan mengernyitkan keningnya, seakan ia menganggap kotor semua manusia atau marah kepada mereka atau (merasa) suci dari mereka. Dia tidak tahu bahwa waro’ bukan ada pada kening yang mengernyit, pipi yang berpaling. punggung yang menunduk, leher yang merendah, dan bukan pula pada ekor yang mengumpul, akan tetapi waro’ itu ada pada hati. Orang yang Anda temui dengan kegembiraan dan menemui Anda dengan muka masam (angkuh) yang menganugerahi Anda dengan ilmunya, maka Allah tidak akan memperbanyak orang semacam itu dalam diri kaum muslimin. Kalau Allah ridha dengan hal itu tentu Allah tidak akan berfirman kepada Nabi-Nya Saw: “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.” (Asy Syu’araa 215) []
Sumber: Muhammad Ismail, “Adillatu Tahrimi Mushafahatil Mar’atil Ajnabiyah.”